top of page
Search
  • Writer's pictureElwin Tobing

Surat Terbuka ke Presiden Prabowo: Transformasi Pemerintahan (1)



Presiden Prabowo yang terhormat. Saya percaya bahwa kegigihan dan perjuangan keras Bapak untuk menjadi Presiden bukan hanya untuk kemegahan pribadi, tetapi didorong keinginan tulus untuk memajukan Indonesia. Saya sangat ingin Bapak berhasil.

 

Sebagai anak bangsa yang tiga dekade hidup di negara maju, tetapi tetap berjuang sepenuhnya untuk memajukan Indonesia, ijinkan saya menyampaikan beberapa hal yang bisa membantu Bapak memajukan Indonesia.


Tim transisi telah mempersiapkan agenda pembangunan termasuk target pertumbuhan ekonomi di atas 7% dan pengentasan kemiskinan secara signifikan. Itu sangat bagus, tetapi saya kuatir sangat sulit tercapai. Sebab, ada satu agenda Indonesia yang lebih mendesak, yang jika tidak ditangani akan membuat usaha mencapai target tersebut seperti mustahil. Menariknya, itu sudah diingatkan oleh Profesor Soemitro Djojohadikoesoemo, ayahanda Bapak Presiden sendiri, tiga dekade lalu.

 

Pada tahun 1993, Prof. Soemitro, begawan ekonom Indonesia, menganalisis bahwa dana pembangunan RI bocor minimal 30%. Ini tercermin dari ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia yang sekitar 5, dibanding rata-rata ASEAN 3,5, sehingga terjadi selisih 1,5. Tingkat pemborosan mencapai sedikitnya 30% (1,5/5 x 100%).

 

Tiga puluh tahun kemudian, ICOR Indonesia justru sekitar 7. Artinya dibutuhkan investasi sekitar $7 untuk menghasilkan output $1. Sementara rata-rata ICOR di negara ASEAN lainnya sekitar 4. Mengikuti analisis Prof. Sumitro, tingkat pemborosan di Indonesia kini mencapai 40% (3/7 x 100%), lebih buruk dari tiga dekade lalu. Ini bukan lagi era reformasi, tetapi regresi.


Sontak, debat tentang pemborosan pembiayaan pembangunan ini pun menjadi polemik hangat. Saya sendiri tertarik mempelajari ekonomi dan menjadi ekonom termasuk karena eksposisi beliau tersebut.

 

ICOR hanyalah satu indikator agregat dari inefisiensi yang terjadi. Kenyataannya, inefisiensi bisa lebih luas dan parah, sehingga mengejar pertumbuhan tinggi akan cenderung hal mustahil. Karena itu, perbaikan efisiensi harus menjadi agenda utama pemerintah.

 

Penyebab Inefisiensi

 

Pemborosan dalam pembiayaan pembangunan tidak selalu karena korupsi, meskipun itu faktor penting. Itu juga disebabkan kombinasi berbagai faktor, seperti tingginya biaya logistik, kompleksnya peraturan, lemahnya R&D, rendahnya kualitas SDM, buruknya koordinasi antar institusi pemerintah, dan kurangnya penerapan kebijakan berbasis data dan penelitian.

 

Misalnya, terkait izin usaha saja, ada 40 ribu regulasi di tingkat pusat dan daerah, termasuk 18 ribu di pemerintah pusat, 14 ribu aturan menteri, dan 4 ribu regulasi dari lembaga non-kementerian. Tidak ada undang-undang, termasuk UU Cipta Kerja, yang mampu mengatasi kerumitan ini.

 

Di belakang regulasi yang rumit adalah mindset atau mentalitas yang melekat dengan inefisiensi. Oleh karena itu, perbaikan efisiensi harus dimulai dari inovasi mindset, dan seluruh elemen bangsa, terutama pemerintah, harus mengalaminya agar Indonesia bisa maju.

 

Transformasi Pemerintahan

 

Inovasi bukan hanya soal adopsi teknologi canggih atau menciptakan produk baru. Itu juga mencakup proses yang melibatkan pemikiran dan pendekatan kreatif untuk menghasilkan perubahan dan nilai tambah signifikan yang dituntun oleh sikap terbuka terhadap sistim nilai yang baru. Untuk menjadi lebih inovatif dan efisien, birokrasi dan aparat pemerintah harus mengalami tujuh perubahan mindset. Ini yang saya namakan transformasi pemerintahan.

 

Pertama, dari complicator menjadi problem solver. Regulasi yang kompleks dan tumpang tindih akhirnya melahirkan anekdot “kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah?” Meski anekdot, tetapi itu adalah cerminan kenyataan yang harus diubah. Aparat pemerintah harus menjadi bagian dari solusi, bukan masalah. Mereka harus menjadi problem solver, bukan complicator ataupun penghambat pemecahan masalah.

 

Kedua, dari creator menjadi facilitator. Pemerintah seharusnya berfungsi sebagai fasilitator penciptaan lapangan kerja, bukan sebagai pencipta langsung. Jika pemerintah melihat perannya sebagai pencipta langsung, orientasinya bisa beralih pada profit termasuk untuk kepentingan pribadinya, yang sering memicu praktik korupsi dan kolusi. Sebagai fasilitator, pemerintah akan lebih fokus pada akselerasi proses penciptaan lapangan kerja, bukan pada pengejaran keuntungan.

 

Ketiga, dari mental proyek menjadi mental program. Pembangunan tidak jarang dilakukan dengan mentalitas proyek, berorientasi jangka pendek dan lebih fokus pada anggaran daripada tujuan jangka panjang. Ini harus berubah menjadi orientasi program yang berbasis data, penelitian, dan kebijakan yang berkelanjutan. Transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas biaya harus menjadi prinsip utama. Dengan sendirinya, keputusan tergesa-gesa yang berisiko tinggi dapat dihindarkan.

 

Keempat, dari pasif menjadi proaktif. Pemerintah harus lebih proaktif dalam mencari peluang, bukan hanya menunggu. Contoh yang baik adalah Kota Irvine di California, yang meski sudah menjadi tujuan investasi utama di California, tetap proaktif mengkampanyekan potensinya ke berbagai negara dengan bahan top notch dan professional. Indonesia belum destinasi utama investasi, karena itu pemerintah perlu meniru langkah ini untuk proaktif, terencana, dan professional dalam mengejar kesempatan untuk memajukan Indonesia.

 

Kelima, dari orientasi proses menjadi orientasi output. Birokrasi sering terjebak dalam mengejar KPI (key performance indicators) sehingga bisa melupakan hasil nyata di lapangan. Orientasi pada KPI dapat menghambat inovasi dan adaptasi, karena terlalu terikat pada prosedur. Pemerintah harus berfokus pada output nyata yang berdampak dan berkelanjutan, bukan sekadar memenuhi metrik proses.

 

Keenam, dari mindset kaku menjadi adaptif. Pemerintah harus terbuka untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk institusi kecil, serta memberi ruang untuk gagasan inovatif. Amazon dimulai dari menjual beberapa buku dari garasi. Sebuah gagasan besar bisa muncul dari tempat yang sederhana, jika diberi ruang untuk berkembang. Kolaborasi adaptif dan dukungan terhadap inovasi dari berbagai sumber adalah kunci untuk kemajuan Indonesia.

 

Ketujuh, dari mengabaikan waktu menjadi menghargai waktu. Salah satu masalah yang sering ditemui saat berurusan dengan pemerintah adalah kurangnya penghargaan terhadap waktu dan tenggat. Ini adalah cerminan dari mindset yang menganggap pemerintah sebagai satu-satunya pemangku kepentingan, sehingga fleksibilitas dan hirarki dianggap lebih penting daripada kepatuhan pada jadwal atau kesepakatan. Hal ini bisa menyebabkan proyek tertunda, menghambat ekonomi, dan menurunkan kepercayaan publik. Pemerintah harus mulai menghargai waktu sebagai elemen penting dalam mencapai kemajuan dan meningkatkan daya saing bangsa.

 

Pemangku Utama

 

Sebagai pemangku utama pembangunan, perbaikan efisiensi nasional harus dimulai dari pemerintah. Dengan mengadopsi tujuh transformasi mindset di atas, pemerintah dapat menjadi lebih responsif, inovatif, dan efisien dalam menyelenggarakan pembangunan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih kompetitif dan maju.

0 comments

コメント


bottom of page