top of page

Indonesia di Era Digital dan AI

  • Writer: Elwin Tobing
    Elwin Tobing
  • Apr 16
  • 2 min read

(Ringkasan tulisan kami di The Jakarta Post, 14 Februari 2007, berjudul “The Challenges of Our Education in the Internet Era”. Tulisan diperbarui dengan konteks perkembangan AI)


Internet telah membuat akses terhadap pengetahuan lebih mudah dari sebelumnya. Hanya dengan beberapa klik, pelajar dan mahasiswa bisa membaca jurnal internasional, riset terbaru, dan informasi tak terbatas. Tapi, apakah kemudahan ini benar-benar meningkatkan kualitas belajar?

 

Kemungkinan besar: tidak.

 

Sejarah memberi pelajaran. Saat televisi mulai populer, banyak yang berharap itu akan merangsang pola pikir baru. Nyatanya, riset menunjukkan anak-anak di AS yang menonton TV lebih dari tiga jam per hari mengalami penurunan kemampuan membaca. Hiburan menggantikan pembelajaran. Neil Postman pernah menulis, televisi membuat percakapan serius menjadi dangkal.

 

Kini, risikonya jauh lebih besar. Internet, smartphone, dan kecerdasan buatan (AI) membentuk kombinasi yang kuat—dan berbahaya, terutama di negara seperti Indonesia, yang belum memiliki budaya baca yang kuat.

 

Di negara maju, pembelajaran digital dibangun di atas fondasi lama: budaya baca yang mapan, perpustakaan, penerbitan buku, dan pendidikan yang mendorong ekspresi tertulis. Peralihan dari cetak ke digital hanyalah transisi, bukan loncatan.

 

Indonesia belum punya fondasi itu. Kita langsung lompat ke era virtual tanpa sempat membangun kebiasaan membaca. Dengan sedikit perpustakaan dan rendahnya minat baca, banyak siswa dan masyarakat memilih jalan pintas—copy-paste.

 

Awal 2000-an, studi di UC Berkeley menunjukkan sekitar 30% mahasiswa menjiplak langsung dari Internet. Di negara dengan perlindungan hak cipta dan budaya menulis lemah seperti Indonesia, angkanya bisa lebih tinggi.

 

AI memperburuk situasi. Mahasiswa dan masyarakat tak perlu berpikir panjang untuk menulis. Sekarang, cukup ketik prompt ke AI, tugas selesai. Tanpa bimbingan etika dan budaya menulis, AI justru mengikis daya pikir orisinal. Alat bantu belajar berubah menjadi mesin pengganti berpikir.

 

Masalah lainnya: banjir informasi. Terlalu banyak, terlalu cepat. Tanpa kemampuan menyaring dan menganalisis, kita justru tersesat. Kita hidup di masyarakat informasi, tapi belum tentu menjadi masyarakat yang berpikir.

 

Masalah utamanya bukan teknologinya, tapi budayanya.

 

Jika ingin maju di era digital dan AI, Indonesia harus kembali ke dasar: bangun masyarakat yang gemar membaca, menulis, dan berpikir kritis. Kita butuh lebih banyak perpustakaan fisik, bacaan bermutu, pendidikan menulis yang serius, dan penghargaan pada kejujuran intelektual.

 

Lompatan peradaban tak akan berhasil tanpa fondasi.

 

Kalau kita gagal membangun budaya belajar, Internet hanya akan jadi distraksi. AI tidak akan memperkuat daya pikir kita; itu justru akan menggantikannya. Dan tanpa sadar, kita menjadi budak teknologi yang kita banggakan sendiri.

 
 
 

Comments


bottom of page