Elwin Tobing
Mispersepsi Tentang Penelitian
Beberapa hari lalu Dirjen Dikti mengatakan berikut: “…sekitar 4.700 perguruan tinggi di Indonesia memiliki ratusan ribu dosen yang bertugas melakukan penelitian. Namun saat ini, hasil penelitian tersebut belum optimal dirasakan masyarakat karena selalu terhenti menjadi sebuah dokumen yang tersimpan atau hanya sebatas purwarupa saja.”
Judul berita: Dirjen Dikti Sebut Ratusan Ribu Hasil Riset Perguruan Tinggi Hanya Sebatas Dokumen.
Benarkah?
Masuk akal mengasumsikan bahwa dosen yang melakukan penelitian umumnya adalah yang bergelar S3. Per akhir tahun 2019, terdapat sekitar 39.500 dosen bergelar S3 dari total 280.000 dosen di Indonesia. Bila 10% dari mereka aktif melakukan penelitian (angka yang masuk akal), bisa jadi jumlah penelitian puluhan ribu. Ratusan ribu? Saya belum yakin. Tetapi mungkin saja.
Asumsikan angka ratusan ribu tersebut benar. Tetapi pernyataan dari Dirjen Dikti tersebut tidak lengkap. Sebagai figur utama di Dikti, seharusnya beliau lebih menggunakan pernyataan berbasis data yang lebih rinci.

Dalam perguruan tinggi, ada tiga jenis kegiatan penelitian yang dilakukan. Pertama, penelitian dasar (basic research). Kedua, penelitian terapan (applied research) dengan orientasi potensi manfaat komersial. Ketiga, penelitian untuk kebijakan umum (policy research).
Penelitian Dasar
Penelitian dasar memberikan kita pengetahuan ilmiah yang paling mendasar. Ini yang membangun ilmu-ilmu dasar seperti biologi, fisika, dan kimia. Tujuan dari ilmu dasar adalah untuk memahami cara kerja sesuatu. Misalnya, apakah itu sel tunggal, mengapa benda-benda di langit jatuh ke bumi, bagaimana tubuh membuat kolesterol, apa penyebab penyakit tertentu, bagaimana sifat ekosistem secara keseluruhan, dan lain sebagainya. Contoh lain adalah bagaimana glukosa diubah menjadi energi sel atau seberapa tinggi tingkat kadar glukosa darah bisa berbahaya. Ilmuwan yang mengerjakan pertanyaan sains dasar hanya ingin meningkatkan pengetahuan manusia tentang alam dan dunia di sekitar kita.
Seringkali penelitian semacam itu tidak ditujukan untuk memecahkan masalah praktis tertentu, tetapi untuk mengeksplorasi masalah baru dan menginspirasi orang lain. Misalnya penelitian Isaac Newton terhadap pertanyaan dasar “mengapa apple jatuh ke bumi bukan ke langit” merupakan basis terhadap lahirnya hukum Newton yang sangat penting dalam Fisika.
Hukum gerakan (laws of motion) dari Newton yang diterbitkan dalam Principia pada tahun 1687 secara definitif mendeskripsikan gaya gravitasi yang mengatur gerakan tidak saja benda-benda di langit seperti komet, bintang, dan planet, tetapi juga perilaku benda-benda penting yang terikat Bumi seperti kapal perang, bola meriam, bangunan, dan buah apple.
Itu kemudian melahirkan pengetahuan-pengetahuan baru termasuk pengetahuan terapan dan riset-riset terapan. Tetapi proses untuk menjadi ilmu terapan tidak selalu instan. Seringkali itu membutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun atau lebih, sebelum nilai penelitian ilmiah dasar dihargai dan dikenali, dan penerapan yang sangat dihargai dihasilkan. Diperlukan akumulasi pengetahuan dalam batas tertentu untuk bisa mengkonversinya menjadi ilmu dan penelitian terapan, alih-alih menjadi inovasi komersial.
Tiga hukum gerakan Newton yang dikembangkan di abad ke-17 pada akhirnya merangsang revolusi industri pada abad ke-18 dan ke-19. Mesin-mesin yang beroperasi sekarang sesuai dengan hukum yang didefinisikan dan dipahami dengan baik seperti lokomotif uap, pabrik dan peralatan mesin semuanya disusun dan dirancang dengan menggunakan ilmu dinamika Newton.
Contoh lain, Charles Babbage pada tahun 1822 membuat konsep dan mulai mengembangkan Difference Engine, yang dianggap sebagai mesin komputasi otomatis pertama yang dapat mendekati polinomial. Pada tahun 1837, dia mengusulkan komputer mekanik umum pertama, Analytical Engine yang merupakan cikal bakal komputer. Perlu waktu beberapa dekade dan satu abad lebih untuk kemudian bisa diterapkan menjadi produk komersial.
Riset dasar biasanya dilakukan di universitas dan institusi penelitian di mana penghargaan utamanya adalah publikasi di jurnal ilmiah peer review. Itu sebabnya temuan penting daripada penelitian ini umumnya dikomunikasikan ke kalangan dunia akademik. Kata kunci “penting” di sini mengacu pada bagaimana tingkat rigorousness (ketelitian) daripada proses penelitian itu dilakukan dan dikomunikasikan. Semakin rigorous prosesnya, semakin tinggi nilainya karena itu semakin menambah pengetahuan terhadap pengetahuan yang sudah ada. Jadi output penelitian ini tidak bisa dinilai dari segi komersial atau efeknya di pasar, tetapi bagaimana itu dapat memperkaya pengetahuan kita akan ilmu dasar.
Apakah ratusan ribu penelitian mubazir yang disampaikan Dirjen Dikti tersebut tergolong kategori ini? Saya kurang tahu. Dirjen Dikti seandainya bisa memperjelas.
Penelitian Terapan
Penelitian dasar tidak memiliki tujuan komersial langsung dan meskipun bisa bermanfaat langsung memperluas pengetahuan, penelitian dasar tidak selalu menghasilkan penemuan atau solusi untuk masalah praktis. Sementara penelitian terapan, yang menjadi bagian ilmu terapan (applied science), dirancang untuk menjawab pertanyaan spesifik yang ditujukan untuk memecahkan masalah praktis.
Pengetahuan baru yang diperoleh dari penelitian terapan dapat memiliki tujuan komersial tertentu dalam bentuk produk, prosedur, atau layanan. Tetapi ilmu terapan mengambil informasi yang sudah diperoleh melalui penelitian dasar dan memanfaatkannya untuk solusi dari masalah yang ada. Jadi ilmu terapan selalu bertumpu pada ilmu dasar.
Misalnya di kedokteran, pengetahuan tentang cara merawat pasien adalah ilmu terapan berdasarkan penelitian dasar. Seorang dokter yang memberikan obat untuk menurunkan kolesterol seseorang adalah contoh ilmu terapan. Di bidang enerji, ilmu terapan juga menciptakan teknologi baru berdasarkan ilmu dasar. Misalnya, merancang kincir angin untuk menangkap energi angin adalah ilmu terapan. Studi pola angin dan rute migrasi burung membantu menentukan penempatan terbaik untuk kincir angin.
Tetapi tidak semua penelitian terapan dapat langung bermanfaat secara komersial sama seperti tidak semua gagasan di kepala bisa menjadi ide bisnis yang fisibel. Berbagai faktor turut sangat menentukan termasuk berkembang-tidaknya dukungan sistim (dana, pasar, teknologi, sumberdaya manusia, material, dan lain sebagainya). Bila ada 1% dari penelitian terapan bisa menjadi komersial, itu sudah luar biasa.
Kisah Thomas Alva Edison yang diutarakannya sendiri mungkin bisa menjadi acuan meski bisa kita sesuaikan dengan konteksnya. Thomas Edison mencoba ribuan eksperimen sebelum menemukan bola lampu di akhir abad ke-19. Dalam wawancara tahun 1890 di Majalah Bulanan Harper, Thomas Edison mengatakan:
“Saya berbicara tanpa melebih-lebihkan ketika saya mengatakan bahwa saya telah membangun tiga ribu teori berbeda sehubungan dengan cahaya listrik, masing-masing masuk akal dan tampaknya benar. Namun hanya dalam dua kasus eksperimen saya membuktikan kebenaran teori saya.”
Penelitian Untuk Kebijakan
Ketika suatu kebijakan atau program publik mau diterapkan, perlu penelitian mendalam terhadap potensi impak dan biaya kebijakan/program tersebut. Ini yang lazim disebut dengan cost-benefit ataupun cost-effectiveness analysis. Hal ini diperlukan untuk memberikan pengetahuan terhadap pengambil keputusan ketika mereka mau memutuskan kebijakan/program tersebut. Artinya, supaya keputusan mereka didasarkan atas informed decision (keputusan yang sudah punya dasar informasi kuat). Apakah sebaiknya dana bantuan sosial diberikan dalam bentuk cash atau melalui barang-barang konsumsi? Atau bagaimana manfaat bantuan sosial dalam menunjang kesehatan anak? Dan lain sebagainya.
Ini bukan penelitian untuk tujuan komersial, tetapi untuk memandu pengambilan kebijakan publik. Apabila ternyata para pengambil keputusan sama sekali mengesampingkan hasil penelitian tersebut ketika mengambil keputusan, yang salah bukan penelitiannya, tetapi pengambil keputusan publik tersebut.
Pertanyaan tentu adalah bagaimana dengan ratusan ribu penelitian di Indonesia yang dianggap mubazir.
Penelitian jenis manapun (dasar, terapan, terapan untuk kebijakan publik) itu akan mubazir bila dilakukan secara sembarangan tanpa tingkat rigorousness yang serius sebab hasilnya kurang bisa dijadikan sebagai pertimbangan dalam dunia penelitian dan sains. Jadi kategori penelitian mana yang dimaksud Dirjen Dikti yang mubazir? Alangkah baiknya tadinya ada data dan analisa kecil yang lebih informatif.
Buang-Buang Uang?
Penelitian memakan biaya. Dalam hal ini kita masih jauh tertinggal dari negara maju dan tetangga, dilihat dari alokasi anggaran di PDB maupun secara per kapita. Secara per kapita, anggaran penelitian di Korea Selatan dan Malaysia masing-masing 70 kali dan 11 kali anggaran Indonesia. Negara seperti Korea Selatan, Jepang, Amerika Serikat, dan Cina sangat kuat dalam melakukan penelitian dasar yang memang memakan biaya besar (Tabel).
Indonesia mau maju? Jangan cibirkan penelitian. Dan jangan menganggap penelitian gratis. Tetapi juga jangan melakukan penelitian secara serampangan. Tidak kalah penting, jangan menganggap penelitian hanya mubazir karena tidak langsung bermanfaat komersial.
