top of page
Search
  • Writer's pictureElwin Tobing

The World Corrupt



Ketika masih pelajar SMA pada Mei 1986, saya menulis artikel di Sinar Indonesia Baru, surat kabar terbesar di Sumatera Utara. Tentang analisa dan prediksi bahwa Argentina akan juara Piala Dunia sepakbola 1986.


Alasannya: Faktor Maradona.


Empat tahun sebelum di Spanyol, Argentina dikandaskan musuh bebuyutannya: Brazil. Maradona yang nama dan kehebatannya mulai menanjak saat itu tidak mampu menahan emosinya. Dalam pertandingan tersebut, dia mendapat kartu merah setelah menendang pemain bintang Brazil, Zico. Tetapi, yang jeli mengikutinya saat itu yakin bahwa Maradona dan Argentina sepertinya akan menuju suatu destiny. Dan destiny tersebut terwujud tahun 1986. Tetapi perlu kejeniusan Maradona dan “campur tangan Tuhan.”


Pada pertandingan quarter-final, Argentina mengalahkan Inggris lewat dua gol dari Maradona. Gol pertamanya karena “Tangan Tuhan”, di mana Maradona yang tingginya hanya sekitar 165 cm melompat sambil mendorong bola dengan tangannya yang tidak dapat ditangkap oleh Peter Shilton, kiper Inggris, yang tingginya 183 cm.


Gol kedua murni karena skill dan kejeniusannya. Melewati lima pemain Inggris, Maradona mencetak gol solo yang paling terkenal sepanjang sejarah Piala Dunia.


Pada 4 Mei lalu, kaos yang dikenakan Maradona saat ia mencetak gol "Tangan Tuhan" tersebut terjual dengan harga rekor dunia sebesar $9,3 juta (sekitar 150 miliar rupiah) di sebuah lelang di Sotheby's di London. Dua hari lalu, bola yang digunakan dalam pertandingan tersebut laku terjual dalam lelang $2,4 juta (37,5 miliar rupiah).


WARISAN SEJARAH


Piala Dunia penuh romantisme, kisah, sejarah, dan mujizat seperti “Tangan Tuhan.”

Dan dalam kisahnya sejak dimulai tahun 1930, Piala Dunia adalah ajang musim panas. Musim liburan. Musim perayaan. Sepakbola tanpa fans/penggemar adalah hampa. Dan sepakbola tanpa perayaan oleh fans bukanlah suatu kisah.


Saya yakin pendirinya juga mencita-citakan demikian. Final Piala Dunia pertama pada 30 Juli 1930 disaksikan sekitar 69 ribu penonton. Sementara, jumlah rekor penonton Piala Dunia masih final tahun 1950 di stadium Maracana, Rio de Janeiro dengan sekitar 200 ribu orang.


Fans, musim panas, dan pesta bola. Itulah Piala Dunia. Warisan sejarah. Bahkan di negeri yang sepakbola masih bukan olahraga paling populer, Piala Dunia mendapat perhatian luar biasa. Sejauh ini, Amerika Serikat, yang tuan rumah tahun 1994, memegang rekor jumlah rata-rata penonton pertandingan Piala Dunia dengan sekitar 69 ribu penonton. Kedua, Brazil 1950 dengan rata-rata 61 ribu penonton.


Amerika Serikat? Kenapa bisa? Musim panas, musim liburan, akses geografis luas dengan kota-kota besar dari New York, Chicago, Los Angeles, dan Dallas. Pesta bola sekaligus wisata dunia.

Itu sejarah Piala Dunia yang membuatnya menjadi suatu ajang yang ditunggu-tunggu di seluruh dunia.


Kecuali ketika warisan sejarah tersebut tercoreng oleh praktik populer: korupsi.


KORUPSI


Pada 2 Desember 2010, 22 anggota eksekutif FIFA melakukan pemungutan suara untuk menentukan tuan rumah Piala Dunia 2022. Qatar menang, mengalahkan AS, Jepang, Korea Selatan, dan Australia.


Qatar? Negeri yang memiliki jumlah penduduk lebih kecil dibanding rata-rata jumlah penonton stadion Piala Dunia? Ketika terpilih tahun 2010 menjadi tuan rumah, Qatar hanya berpenduduk 1.9 juta jiwa. Sejak tahun 1986, rata-rata jumlah penonton stadion Piala Dunia lebih 3 juta. Negara seperti Swiss saja, penduduknya hampir 5 juta ketika menjadi tuan rumah tahun 1954.


Dan tanpa sejarah bola dan partisipasi di Piala Dunia? Semua tuan rumah Piala Dunia sejak tahun 1930 sudah pernah sebelumnya partisipasi sebagai peserta. Artinya sudah memiliki tradisi sepakbola yang relatif kuat untuk bisa tampil di Piala Dunia. Qatar belum pernah kualifikasi ke Piala Dunia.


Pemilihan Qatar sebagai tuan rumah meruntuhkan tradisi sejarah Piala Dunia yang sudah berjalan 90 tahun.


Selain hal-hal menyimpang dari sejarah di atas, termasuk jadwal harus digeser menjadi turnamen musim dingin, Qatar sebagai tuan rumah juga menciptakan disrupsi dalam kompetisi liga domestik di Eropa dan berbagai negara lainnya.


Ini terjadi karena korupsi.


Korupsi seringkali seperti bau busuk angin dalam suatu ruangan. Baunya kecium, tetapi belum tentu ada orang mau mengaku siapa yang memproduksinya. Dan bahwa tidak ada yang masuk penjara, bukan berarti praktik korupsi tidak terjadi. Sebab, bisa jadi pengadilan sendiri sudah tercemar. Atau karena kecanggihan mengelabui sistem, pelaku bisa lolos dari bukti-bukti kasat mata.


Tetapi, sejak tahun 2010, dari 22 anggota eksekutif FIFA yang menentukan tuan rumah Piala Dunia 2022 (dan 2018) tersebut, 16 orang diantaranya telah terlibat atau diselidiki atas beberapa bentuk dugaan korupsi atau praktik buruk.


Pada 6 April 2020 yang kemudian dimutakhirkan pada Oktober 2021, surat kabar New York Times melaporkan bahwa setelah beberapa tahun tahun penyelidikan dan dakwaan, Departemen Kehakiman Amerika Serikat mengatakan untuk pertama kalinya bahwa perwakilan yang bekerja untuk Rusia dan Qatar telah menyuap pejabat FIFA untuk mengamankan hak tuan rumah Piala Dunia tahun 2018 dan 2022.


Bin Hammam, warga Qatar yang pernah menjabat sebagai Ketua Federasi Sepakbola dan dan anggota komite eksekutif FIFA diduga membagikan uang untuk memuluskan langkah Qatar menjadi tuan rumah tahun 2022. Dipandang sebagai pahlawan di Qatar, pada Desember 2012, Bin Hammam diskors seumur hidup dari semua kegiatan yang berhubungan dengan FIFA dan sepak bola oleh tindakan Komite Etika FIFA.


Sepp Blatter, mantan presiden FIFA ketika Qatar dianugerahi hak tuan rumah Piala Dunia 2022, mengatakan kepada surat kabar Swiss Tages Anzeiger "Qatar adalah sebuah kesalahan," menambahkan bahwa "pilihan itu buruk."


Pada tahun 2015, Sepp Blatter sendiri, bersama-sama mantan bintang sepakbola Perancis Michel Platini yang pernah sebagai Ketua Federasi Sepakbola Eropa, dilarang dari kegiatan sepakbola terkait dengan FIFA selama 8 tahun bola oleh Komite Etika FIFA.


KORUPSI DI MANA-MANA


Politik kekuasaan adalah ladang korupsi. Juga dunia bisnis. Dan karena olahraga sudah menjadi ajang bisnis dan kekuasaan, juga tidak rentan dari korupsi.


Bukan persoalannya apakah negara kecil bisa menjadi tuan rumah Piala Dunia. Tetapi, bagaimana hal itu bisa terjadi. Dan juga, terkadang, sejarah itu perlu dilestarikan, bukan justru dirusak. Apalagi melalui praktik kotor.


Sejak tahun 1978, Piala Dunia merupakan ajang yang saya tunggu-tunggu setiap empat tahun. Demikian juga ratusan juta bahkan beberapa miliar fans bola di seluruh dunia.


Kali ini, itu sudah hambar. Kecuali bila Anda tidak peduli dengan praktik korupsi.

0 comments
bottom of page