
Seorang bocah kampung tidak bisa tidur karena suatu tim dari benua lain kalah bertanding. Ketika gol dari Alessandro Altobelli praktis memastikan Italia memang di final Piala Dunia 1982 atas Jerman Barat, saya seperti jatuh dalam lara. Masih relatif bocah, saya tidak tahu kenapa menjadi fans Jerman. Karl Heinz Rummenigge menjadi pemain favorit saya. Saya sablon namanya waktu itu di kaos oblong lengkap dengan nomor 11. Sepakbola dan Piala Dunia seperti magis. Saya kira jutaan anak-anak dan orang dewasa di seluruh dunia juga mengalaminya.
Lima kali juara dunia, Brazil bisa mengklaim diri negara paling kuat dalam sepakbola. Tetapi sepanjang sejarah Piala Dunia, Jerman (termasuk Jerman Barat) paling banyak masuk final (8 kali dibanding Brazil 7) dan semifinal (13 kali dibanding Brazil 10). Tidak heran bila Gary Lineker, dianggap salah satu pemain penyerang Inggris paling hebat, mengatakan “Sepakbola adalah permainan sederhana. Dua puluh dua orang mengejar bola, dan pada akhirnya Jerman selalu menang”.
Ketika Jerman tersisih dalam babak penyisihan grup tahun 2018, pertama kali dalam sejarah Piala Dunia mereka, sebagai fans, sulit memahami dan menerimanya. Tersisih dua kali berturut-turut di babak yang sama, realitas bahwa bola itu bundar ternyata lebih kuat daripada sejarah kehebatan sepakbola Jerman. Tetapi bukan hanya realitas bahwa bola itu bundar. Ada faktor lain. Faktor yang justru menginginkan saya agar Costa Rica menang melawan Jerman sehingga Spanyol juga tersingkir di babak penyisihan grup Piala Dunia 2022 ini.
Sepakbola lebih daripada strategi dan skill teknis. Itu syarat perlu untuk suatu kompetisi. Lebih dari itu, pertandingan sepakbola adalah suatu pertandingan mental dan prinsip kerjasama. Itu syarat cukup untuk bisa menjadi pemenang. Itu faktor lain tersebut.
TEAM SPIRIT & KUALITAS MENTAL
Lebih dua ribu tahun silam, filsuf Aristotle sudah merangkum aksioma ini: “Keseluruhan lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya (The whole is greater than the sum of the parts). Artinya, sesuatu lebih baik atau lebih efektif sebagai tim daripada individu-individu yang membentuk tim tersebut. Ini menekankan kata sinergi, kerjasama, kolaborasi, dan mentalitas yang tidak menganggap dirinya lebih besar daripada tim atau kelompoknya.
Tim AS, Australia, Jepang, Morocco, dan Korea Selatan cukup kentara didasarkan oleh syarat cukup di atas. Kecuali Son dari Korsel dan Pulisic dari AS, hampir tidak ada pemain sangat menonjol dari tim-tim di atas. Tetapi, sebagai grup, mereka tim yang hebat. Ketika media AS mencoba mengangkat Pulisic sebagai pahlawan atas golnya ketika melawan Iran yang menentukan AS lolos ke babak 16 besar, Pulisic dengan cepat menepis bahwa itu produk suatu kerjasama tim.
Sebaliknya, sedikit negara yang memiliki segudang pemain bintang seperti Belgia. Tetapi mereka gagal di Piala Dunia ini karena faktor syarat cukup di atas. Tim Belgia dari awal sudah dilanda ketidak-akuran. Ini mengingatkan kita akan tim Perancis di Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Mereka penuh pemain bintang seperti Thierry Henry, Nicolas Anelka, dan Frank Ribery. Salah satu tim favorit juara.
Tapi tim tersebut mengalami konflik internal. Itu dipicu oleh perselisihan antara pelatihnya, Raymond Domenech dan pemain kawakan Nicolas Anelka, yang menurut laporan menganggap dirinya seolah istimewa. Perancis akhirnya terdepak di babak penyisihan grup, hanya mengantongi 1 poin dari maksimum 9.
Di PD 2018 dan 2022, Jerman kalah secara mental. Secara kemampuan teknis dan fisik, pemain Jerman termasuk top. Tetapi bekas pemain kawakan Jerman Michael Ballack dan Bastian Schweinsteiger mengisyaratkan bahwa faktor mental membuat Jerman tersingkir secara prematur di Piala Dunia 2018 dan 2022.
Dalam konteks bangsa, kita bisa menjadi bangsa kompetitif kalau berbagai kelompok di tengah bangsa kita tidak menganggap dan bertindak bahwa kelompoknya, apakah karena dasar ekonomi, sosial, atau politik, lebih penting atau lebih daripada bangsanya sendiri. Sekali hal itu terjadi, kohesi sosial akan cenderung lemah, yang pada gilirannya bisa meningkatkan kepincangan ekonomi atau pun disharmonisasi sosial.
Juga, kita bisa menjadi bangsa kompetitif apabila manusia-manusia kita memiliki mental pemenang, mental pejuang, mental yang tidak menganggap remeh, dan mental serius dalam menyelesaikan tanggung-jawabnya, apakah itu kecil atau besar. Serta, sikap mental yang bisa dipercaya.
KTT G-20 DAN KONTEKS
Secara optik, pelaksanaan KTT G-20 di Bali bisa dikatakan berhasil. Kita bisa berbangga, tetapi jangan sampai lupa konteks, bahwa kita masih memiliki perjalanan panjang. Bahwa umumnya negara-negara di G-20 secara objektif jauh di depan kita.
Suatu ketika seorang teman di Jakarta mengatakan Amerika sangat tergantung terhadap Freeport. Lebih dramatis lagi, ketika bersama kami di AS, seorang wakil rakyat daerah dari Indonesia mengatakan bahwa Freeport membesarkan Amerika. Mereka lupa konteks. Bagaimana mungkin suatu ekonomi dengan PDB (Produk Domestik Bruto) 23 triliun dolar seperti AS dibesarkan oleh perusahaan yang hanya memiliki pendapatan (revenue) 23 miliar dolar per tahun?
Kehilangan konteks bisa membuat kita kehilangan arah, jejak serta kemampuan untuk menilai skala prioritas secara tepat. Kita bisa duduk sejajar dengan negara-negara G-20 dalam suatu KTT, tetapi secara objektif, kita belum sejajar. Kesadaran dan pemahaman akan hal ini akan membuat kita lebih termotivasi untuk sungguh-sungguh dan berusaha membangun RI dengan prioritas dan strategi kebijakan yang tepat dan benar.
Sebagai contoh. Tahun 2021, anggaran pemerintah California, salah satu dari 50 negara bagian di AS, untuk pendidikan besarnya 184.4 miliar dolar. Ini anggaran untuk pendidikan dari tingkat TK sampai mahasiswa di sekolah/universitas negeri (untuk universitas, mahasiswa tetap masih bayar uang kuliah). Besarnya setara Rp 2904 triliun. Ini baru di satu negara bagian atau semacam provinsi.
Sementara, APBN RI tahun 2021 besarnya Rp 2750 triliun. Ini sudah termasuk bayar cicilan hutang sebesar Rp 343 triliun.
Apa artinya? Karena kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan kualitas manusianya dan pendidikan salah satu langkah kunci untuk membangun kualitas manusia (bukti empiris sudah mengkonfirmasi hal ini), maka sulit buat kita untuk bisa sejajar dengan bangsa maju sekarang. Bukan mustahil, tetapi akan sangat sulit. Untuk itu, diperlukan penentuan skala prioritas yang tepat.
Memahami diri sendiri secara tepat akan bisa menggiring kita pada skala prioritas kebijakan dan program yang tepat. Misalnya, salah satu tantangan besar (bila bukan terbesar) peningkatan kualitas pendidikan nasional adalah kualitas guru-guru. Ini masalah sudah kronis.
Daripada membangun fasilitas olahraga balapan menghabiskan Rp 2.5 triliun, sudah lebih baik dana tersebut digunakan untuk program peningkatan kualitas 20 ribu guru, yang pada gilirannya akan bisa membangun kualitas 7 juta murid Indonesia. Bila 0.1% pun murid tersebut menjadi insan-insan penggerak pemajuan Indonesia, efek multipliernya sudah luar biasa.
Kenalilah dirimu/bangsamu adalah ungkapan sederhana. Tetapi hal yang sederhana terkadang hal paling sulit dilakukan.
Comments