(Tulisan ini diterbitkan di Metro Siantar, Februari 2014. Kami kampanye selama 5 bulan lebih di Siantar ketika sebagai caleg DPR RI dari Daerah Pemilihan Sumut 3 pada Pemilu 2014).
Bulan Nopember tahun lalu saya berkesempatan bertemu dan berdiskusi dengan mantan Ketua DPR Amerika Serikat, Newt Gingrich di California, AS. Saya tanyakan kepadanya bagaimana caranya untuk memenangkan pemilihan umum. Jawab Gingrich, “tawarkan gagasan dan yakinkan rakyat pemilih bahwa gagasan Andalah yang terbaik.”
Ini bukan hal baru. Bekas Perdana Menteri Inggris, Margareth Thatcher suatu kali berkata bahwa untuk memenangkan pemilihan umum, menangkan dulu perdebatan atau argumen. Sebab Pemilu pada dasarnya adalah suatu kontes dalam memenangkan perhatian (interest) daripada pemilih, yang akan kemudian terwujud dalam dukungan suara.
Karena interest manusia cenderung berpusat pada hal-hal yang menyangkut kepentingan dirinya, perdebatan dalam pemilu sering berpusat pada isu-isu kebutuhan pokok (bread and butter) ataupun pemenuhan kesejahteraan umum. Jadi pemilu menjadi suatu kontes bagaimana merumuskan, mengemas, dan menyampaikan program dan gagasan untuk meningkatkan kesejahteraan pemilih. Artinya, berpolitik dengan gagasan.
Sayangnya, berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya sebagai caleg DPR RI selama empat bulan terakhir, yang sarat terjadi dalam Pileg adalah politik uang, bukan kontes gagasan. Rakyat cenderung memilih seorang caleg karena pemberian uang atau sembako, dan lain sebagainya dengan nilai nominal tertentu. Istilah wani piro (berapa uangnya) atau cair-kah, menjadi jargon yang paling sering saya dengar dalam beberapa bulan proses sosialisasi dan kampanye di Dapil saya di Sumatera Utara.
Para caleg pun yang tidak ada masalah dengan politik uang dan memiliki cukup modal akan mencoba memenuhi situasi “pasar” dengan menawarkan pemberian tersebut. Akhirnya harga satu suara memiliki nilai nominal tertentu apakah 50 ribu, 100 ribu, dan seterusnya. Mengapa rakyat menjadi jatuh dalam politik uang?
Sedikitnya tiga sebab. Pertama, rakyat sangat apatis melihat kinerja dan kelakuan para caleg yang terpilih pada Pileg sebelumnya yang ternyata jauh melenceng dari harapan mereka. Ini juga termasuk praktik korupsi yang dilakukan anggota DPR dan DPRD, serta situasi di tengah masyarakat yang tidak kunjung mengalami kemajuan dalam kesejahteraan umum mereka.
Misalnya, rakyat sering mengeluh kepada saya bahwa mereka sudah tertipu janji dari satu Pileg ke Pileg lainnya. Tetapi, rakyat sendiri pun tidak jujur. Politik uang dan serangan fajar sudah mulai merebak sejak tahun 2004. Artinya, rakyat sebetulnya bukan korban janji, tetapi korban akibat memilih orang yang tidak benar dengan alasan tidak benar. Jika di Pemilu tahun 2004 dan 2009 rakyat memilih wakilnya bukan karena politik uang, namun yang betul-betul berkualitas dan memiliki niat tulus untuk membangun, besar kemungkinan mereka tidak “tertipu”.
Kedua, selama berbulan-bulan proses sosialisasi, para partai dan caleg tidak menggali aspirasi dari masyarakat yang kemudian bermuara pada perumusan dan penajaman gagasan yang mereka dapat tawarkan kepada masyarakat. Misalnya, apa sesungguhnya masalah-masalah penting dan mendesak di suatu daerah yang menurut rakyat di daerah tersebut sudah sangat mendesak untuk dipecahkan? Lantas apa sesungguhnya yang para partai-partai dan caleg-caleg dapat tawarkan untuk memecahkan masalah tersebut.
Memang, pada akhirnya ini akan berujung pada gagasan berbentuk janji program. Tetapi, jika prosesnya bersifat dialogis dan gagasan yang ditawarkan masih pada batas-batas wajar, rakyat dengan kemampuan nalar minimpun akan cenderung bisa membedakan caleg serius dengan yang bohong atau gagasan yang sifatnya sudah muluk-muluk dengan yang sebetulnya bisa diperjuangkan.
Yang justru terjadi adalah caleg-caleg, lewat anggota-anggota tim suksesnya, melakukan pendataan untuk mengumpulkan nama-nama dari para pemilih yang kira-kira bisa didekati dan ditawarkan pemberian untuk memilih caleg yang bersangkutan. Karena praktik ini sudah diantisipasi sejak dirinya resmi menjadi caleg, akhirnya proses berpolitik dengan gagasan, yakni menawarkan gagasan-gagasan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat daerah atau kota, menjadi tidak terpikirkan atau tidak diupayakan oleh caleg yang bersangkutan.
Jadi pada dasarnya, sumber daripada budaya politik uang ini adalah partai politik dan para caleg. Para partai politik tidak memiliki platform yang jelas dalam memajukan kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia. Praktis tidak memiliki gagasan. Punya jargon, iya. Gagasan, kurang. Akhirnya, partai-partai politik cenderung berbeda hanya karena warna jaketnya.
Di sisi lain, selama berbulan-bulan proses sosialisasi, mereka umumnya kurang menjelaskan apa peranan dan tugas lembaga legislatif dan wakil-wakil rakyat dalam memajukan daerah dan bangsa. Dan karena platform partainya juga kurang jelas, para caleg jarang menawarkan kepada rakyat pemilih akan gagasan-gagasan segar dalam membangun daerah atau bangsanya. Artinya, bukan pendidikan politik yang terjadi, namun politik uang yang menjadi menonjol.
Tidak mengherankan apabila di samping politik uang, masyarakat juga terjebak dalam primordialisme sempit dalam menilai caleg. Misalnya, mereka memilih seseorang hanya karena satu marga, satu suku, atau satu agama, tanpa secara serius menilai kualitas caleg tersebut. Akhirnya, rakyat memilih perwakilan marganya, sukunya, ataupun agamanya di DPR/D, bukan perwakilan daerahnya yang akan berjuang menentukan nasib daerah dan bangsanya.
Budaya politik uang juga diperburuk dengan budaya masyarakat yang cenderung meminta-minta, mengharapkan pemberian. Ini khususnya terjadi di daerah-daerah dengan tingkat ekonomi lemah. Ketika saya melakukan sosialisasi ke berbagai tempat-tempat tersebut, rakyat berkumpul dan mengharapkan adanya bagi-bagi uang atau pemberian. Barangkali kegiatan bagi-bagi uang sudah menjadi model yang calon-calon lainnya lakukan dan budayakan selama sedikitnya dua pileg terakhir.
Seminggu sebelum hari H Pemilu 9 April, saya bertanya kepada pelayan di restoran langganan saya tentang pilihannya dalam Pemilu nanti. Tanpa malu-malu dia menjawab akan memilih calon yang memberikan uang. Alasannya, banyak yang memberinya kartu nama dan dia tidak ingat semuanya. Artinya, yang akan diingat adalah yang memberi uang.
Inilah faktor ketiga penyebab maraknya politik uang, yaitu banyaknya partai dan caleg yang bersaing. Bayangkan, untuk memilih 10 orang calon DPR RI dari daerah pemilihan Sumatera Utara 3, ada sekitar 115 calon. Jika hanya setengah dari 115 tersebut yang aktif berkampanye, menjatuhkan pilihan kepada satu orang dari sekitar 60 calon tetap memusingkan kepala.
Akibatnya, berpolitik dengan gagasan menjadi suatu hal yang tidak menarik. Dan demokrasi pun, seperti kata George Bernard Shaw menjadi penggantian proses seleksi wakil rakyat oleh beberapa atau elit yang korup dengan pemilihan umum oleh rakyat yang tidak kompeten untuk memilih.
Bila para politik dan caleg ditanya mengapa praktik politik uang marak, mereka cenderung mengkambing-hitamkan rakyat. Rakyat bodoh dan jangkauan pemikirannya sempit serta pendek. Tidak sanggup mencerna gagasan.
Sebaliknya rakyat mengkambing-hitamkan partai politik dan caleg. Mereka umumnya dianggap pembohong, penipu, dan tidak punya gagasan. Ketika sosialisasi di Kabupaten Simalungun untuk caleg DPR RI pada pemilu 2014, saya dengar seorang ibu nyeletuk, “Ah, sama saja itu.”
Kapan praktik politik uang ini berakhir atau berkurang drastis?
Ketika masyarakat sudah tidak memiliki mental peminta-minta, sistim politik dibenahi sehingga jumlah partai maksimum 5, para caleg benar-benar memiliki kualitas dan integritas sehingga membuatnya menjauh dari praktik tersebut, partai politik memiliki platform jelas dalam memajukan kecerdasan umum dan kesejahteraan rakyat, serta partai politik mengembangkan sistim pengkaderan modern dan yang sifatnya meritokratik, bukan mediokritas.
Barangkali hal-hal di atas memerlukan waktu dua puluh atau tiga puluh tahun lagi. Sampai itu terjadi, kita harus siap menerima akan kualitas buruk dan kepedulian publik yang rendah dari wakil-wakil rakyat kita di DPR.
Commenti