top of page
Search
Writer's pictureElwin Tobing

Plagiarisme Bakal Rektor USU dan Publikasi Ilmiah Indonesia

Publish or perish adalah ungkapan klasik di lingkungan akademik. Artinya untuk bisa bertahan (atau kredibel) di perguruan tinggi, seseorang harus memiliki karya tulis ilmiah yang dipublikasikan. Kelihatannya sederhana apalagi bila seseorang bekerja sebagai dosen penuh waktu di universitas. Dalam kenyataan, itu cukup berat. Pertama, menulis karya tulis ilmiah sendiri tidak mudah. Kedua, agar karya tulis tersebut bisa dipublikasikan di media relevan seperti jurnal ilmiah, itu tidak kalah sulitnya, meski derajat kesulitannya tergantung kualitas jurnal ilmiahnya.



Kedua tantangan besar ini yang menjadi hambatan luar biasa bagi para dosen di Indonesia dalam mempublikasikan karya ilmiah di jurnal internasional berkualitas. Belum termasuk misalnya kendala bahasa. Dan itu tercermin dari minimnya jumlah publikasi karya ilmiah dosen Indonesia di jurnal internasional. Bagaimanapun ini masalah serius dan DIKTI sudah mencoba mencari beberapa jalan keluar yang menurut saya meski beberapa di antaranya positif, tetapi belum secara substansial menjawab tantangan yang ada.


Publikasi Tidak Mudah


Berikut adalah gambaran bagaimana proses publikasi itu tidak mudah. Sekedar informasi, derajat kesulitan mempublikasi karya ilmiah tergantung bidang displin dan kualitas target jurnal. Saya hanya bahas di bidang kami, yakni ilmu ekonomi.


Ketika kami menyelesaikan disertasi tahun 2006, dua dari tiga bab dari disertasi tersebut kami mutakhirkan dan revisi sedikit setelah kami presentasikan di beberapa konferensi dan seminar. Kedua karya tulis tersebut (paper) sudah kami kerjakan sejak 2-3 tahun sebelumnya ketika masih mahasiswa. Menimbang kualitas paper tersebut mungkin bisa diterima untuk dipublikasikan di level kualitas A dan A+ (klasifikasi tingkat kualitas jurnal ilmiah yang banyak universitas di AS gunakan sebagai barometer penilaian karya ilmiah faculty adalah C, B, A, dan A+), kami kemudian mengirimkannya ke jurnal dengan kualitas tersebut sesuai dengan bidang/topik paper terkait.


Persaingan untuk dapat publikasi paper di jurnal kualitas A+ di bidang Ilmu Ekonomi amat sangat ketat, apalagi bila single author. Lebih mungkin kami menjadi menteri ekonomi di Indonesia daripada publikasi di jurnal seperti American Economic Review atau Econometrics, misalnya. Setahu saya belum ada warga Indonesia yang single author mempublikasikan karya ilmiah di jurnal ilmu ekonomi kualitas A+ (bila ada yang tahu tolong kami dikoreksi). Untuk dapat publikasi di kualitas A saja sudah luar biasa.


Lebih satu dekade lalu, proses review di jurnal ilmiah, khususnya economics (beda displin ilmu komplikasi prosesnya), bisa memakan waktu 1-2 tahun di satu jurnal. Setelah paper tersebut kami submit, keduanya mendapat penolakan dari reviewers. Itu setelah 1 tahun dan 1 tahun 2 bulan. Meski mendapat penolakan, kami mendapat masukan daripada reviewers apa yang harus diperbaiki dengan paper tersebut. Ada saran atau kritik yang masuk akal dan ada yang sedikit kurang masuk akal.

Setelah kedua paper kami revisi, yang memakan waktu beberapa bulan, kami kemudian mengirimkannya ke jurnal lain dengan level kualitas B dan A. Kembali proses review memakan waktu berbulan-bulan. Syukur, setelah itu kami mendapat jawaban dari editor jurnal bahwa paper tersebut perlu direvisi sesuai masukan atau kritik daripada reviewers dan setelah itu bisa di-resubmit lagi.


Setiap paper ada dua reviewers jadi untuk melakukan revisi harus mengikuti masukan atau kritikan mereka. Seberapa lama proses revisi ini selesai, itu tergantung seberapa sulit masukan daripada reviewers bisa kami implementasi. (Sebagai contoh, ada paper kami yang lain tentang Obesitas di AS yang kami submit tahun 2015. Tetapi salah satu reviewer meminta dataset dimutakhirkan dan model estimasi empiris diubah sesuai dengan skope data. Masalahnya, tidak ada data yang tersedia sesuai permintaan/masukan daripada reviewer tersebut.)


Setelah masing-masing paper kami revisi (tidak serentak), kami kemudian re-submit ke masing-masing jurnal. Keduanya baru dipublikasikan pada tahun 2011 (kualitas B) dan 2012 (kualitas A). Jadi suatu paper yang praktis sudah “matang” karena sudah dikerjakan sebagai bagian disertasi dan dipresentasikan di beberapa konferensi dan seminar, ternyata bisa memakan waktu 4-5 tahun baru dipublikasi di jurnal kelas B dan A. (Catatan: Bukan berarti suatu atau bagian disertasi akan selalu diterima untuk dipublikasi di jurnal ilmiah. Itu tetap melalui proses review, dan sebagainya).


Memang tidak selalu makan waktu selama itu. Ada juga paper yang kami tulis di tahun 2010 dan kemudian dipublikasikan di jurnal kualitas A dan B dalam tempo 2 tahun. Tetapi ada satu research paper yang kami tulis bersama dua kolega lain di tahun 2011 yang prosesnya lama di satu jurnal menyita hampir 20 bulan! Kami sabar menunggunya karena kami sangat berkeinginan paper tersebut dipublikasikan di jurnal tersebut sebab sesuai dengan topiknya. Setelah menghubungi editor jurnal tersebut beberapa kali, akhirnya dibalas dengan catatan paper harus diperbaiki. Usulan perbaikan cukup substansial. Karena projek riset kami kerjakan bersama dua orang kolega, proses revisi kami selesaikan dalam satu bulan dan kemudian paper diterima untuk dipublikasikan. Itu hampir 3 tahun sejak awal projek riset kami mulai.


Menulis Karya Ilmiah Juga Susah


Itu adalah proses publikasi. Di bidang ekonomi, proses menulis karya riset ilmiah tidak kalah sulitnya. Bila dikerjakan sendiri, suatu karya ilmiah yang bernilai untuk dipublikasi di jurnal kualitas A memakan waktu pekerjaan serius hampir full time minimal satu tahun (itupun belum tentu diterima untuk publikasi). Dan untuk kualitas B tidak jauh bedanya.


Agar seseorang bisa menghasilkan riset paper kualitas publikasi di kualitas B atau lebih tinggi, itu berarti yang bersangkutan harus attune (mengikuti seksama) literatur terkini termasuk dalam bidang metodologi dan model-model terkini. Ini berarti selain harus betul-betul membaca literatur dalam bidangnya, yang bersangkutan harus memikirkan kira-kira bentuk kontribusi yang dapat disampaikan dalam bidangnya yang kemudian dituangkan dalam karya ilmiahnya. Jadi ketika seseorang mempublikasikan suatu karya ilmiah di kualitas tersebut, itu sudah mencerminkan dua hal. Pertama, yang bersangkutan minimal mengikuti perkembangan bidang displin keilmuannya. Kedua, dia mampu memberikan kontribusi terhadap literatur di bidangnya.


Perlu dicatat bahwa dewasa ini banyak jurnal yang sifatnya pay-for-publish atau dibayar untuk publikasi. Meski nama jurnal tersebut kedengarannya canggih, tetapi itu tidak mencerminkan proses penilaian untuk publikasi yang rigorous. Karena tekanan untuk memiliki publikasi “jurnal internasional”, tidak sedikit dosen kita di Indonesia menargetkan untuk publikasi di jurnal tersebut.


Disayangkan memang. Tetapi mengingat banyaknya kendala yang mereka hadapi, sementara lingkungan dan pengalaman belum tentu mendukung untuk publikasi di jurnal ilmiah yang rigorous, mau tidak mau saya sendiri sulit menghakimi mereka.


Tulisan di surat kabar atau majalah (kecuali majalah ilmiah seperti Lancet atau Nature untuk bidang science) bukanlah bagian daripada karya ilmiah. Demikian juga blog, seberapa kompleks dan panjangnya pun tulisan di blog tersebut. Demikian juga karya diktat dan paper yang sama sekali tidak melalui proses peer-reviewed atau review yang rigorous.


Plagiarisme Bakal Rektor USU


Ini membawa kita pada masalah plagiarisme yang dituduh dilakukan oleh bakal Rektor Universitas Sumatera Utara (USU). Inti tuduhan adalah yang bersangkutan pada dasarnya melakukan copy and paste paper sendiri yang sama dengan derajat kesamaan hampir 80% dan kemudian di “publikasikan” di jurnal. Itu seperti duplikasi karya sendiri.


Bila ini benar (semoga pihak USU mem-post karya-karya ilmiah yang bermasalah tersebut sehingga publik bisa menilainya), maka yang bersangkutan tidak layak untuk menjadi rektor. Sebab bagaimana mungkin dirinya dapat mendorong penelitian dan publikasi yang jujur di kalangan USU bila dirinya sendiri justru melakukan yang sebaliknya.


Mengapa seseorang melakukan hal seperti itu? Itu karena dorongan kuat untuk memiliki publikasi karya ilmiah sementara memiliki banyak keterbatasan. Kedua, seseorang ilmuwan yang benar secara nurani tidak akan mau melakukan praktik seperti itu. Jadi bila tuduhan benar, saya pertanyakan keilmuwan daripada yang bersangkutan. Ketiga, bila ada kesamaan sampai 80% dan masih dipublikasikan, besar kemungkinan karya ilmiah tersebut tidak dipublikasi di jurnal yang rigorous. Karena itu, demi klarifikasi dan perbaikan ke depan, pihak USU harus mempublikasikan karya “ilmiah” yang dituduh bermasalah tersebut.


Tantangan ke Depan


Para dosen kita, khususnya yang lulusan S3 dalam negeri, memiliki banyak keterbatasan untuk bisa bersaing publikasi di jurnal ilmiah internasional kualitas B ke atas (sekali lagi saya bicara bidang ilmu ekonomi). Ini terutama karena iklim penelitian yang belum rigorous serta coaching atau panduan yang terbatas daripada dosen peneliti senior yang sudah berpengalaman dalam kurun satu dekade terakhir (durasi ini penting, sebab seseorang yang terakhir publikasi 20-30 tahun lalu, metode yang dipahaminya mungkin sudah kadaluarsa).


Kelemahan support system ini yang harus diperbaiki. Dan itu hanya bisa diperbaiki oleh para individu-individu yang sudah berpengalaman. Dalam buku Indonesian Dream: Revitalisasi & Realisasi Pancasila sebagai Cita-cita Bangsa (halaman 356-367; Kompas, 2018) kami sudah sampaikan beberapa langkah untuk mengatasi masalah tersebut.


Hal yang belum kami singgung adalah membangun support system melalui pengembangan asosiasi keilmuan secara professional untuk mendorong penelitian untuk publikasi internasional. Ini coba secara kongkrit kami mau kembangkan tahun 2013. Ketika itu, kami mengajak beberapa dosen di berbagai universitas negeri Indonesia seperti ITB, Unpad, UGM, dan UI yang lulusan S3 luar negeri (dalam 10 tahun sebelumnya) untuk membentuk Indonesian Economic Association.


Selain menjadi wadah sharing pengetahuan dan penelitian untuk meningkatkan produksi penelitian sesama ekonom peneliti Indonesia, salah satu fungsi Association tersebut adalah untuk memberikan knowledge and technical assistance terhadap para mahasiswa S3 dalam negeri di bidang ekonomi dan keuangan agar mereka bisa publikasi karya ilmiah mereka di jurnal internasional berkualitas, terutama secara kolektif. Dari 10-12 orang yang kami kontak, hanya 2 orang yang merespon (sekedar informasi, umumnya yang diajak relatif masih junior dan terbatas publikasinya). Ide tersebut tidak bersambut dan kami pun tidak meneruskannya. Dan setahu kami, Association di bidang ilmu ekonomi (bukan ISEI yang adalah sarjana ekonomi) seperti yang dimaksudkan tersebut belum berkembang di Indonesia.


Membangun produksi dan kualitas publikasi karya ilmiah internasional di Indonesia harus dimulai dengan membangun iklim dan support system-nya. Tanpa itu, kita akan menyaksikan plagiarisme atau penolakan mentah-mentah terhadap sistim penilaian kinerja dosen berdasarkan kualitas publikasi.


0 comments

Commenti


bottom of page