top of page

Trump’s Tariff: The Real Questions (3)

  • Writer: Elwin Tobing
    Elwin Tobing
  • Apr 5
  • 3 min read

Bencana alam besar. Negara tetangga menyerang dan menguasai negara lain. Siapa yang dipanggil untuk membantu? Amerika Serikat.

 

Lihat saja mega tsunami di Indonesia. Atau Kuwait, Perancis, Inggris, bahkan hampir seluruh Eropa Barat. Tanpa Amerika, mungkin hari ini Perancis sudah berbahasa Jerman. Atau, Eropa Barat sudah tunduk pada kekuasaan lain.

 

Kita ingat, para pemuda di Jakarta mendesak Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 16 Agustus 1945. Kenapa? Karena mereka mendengar Jepang menyerah kepada Amerika.

 

Para pendiri bangsa berjuang tanpa lelah. Tapi tanpa kekalahan Jepang, kemerdekaan mungkin tertunda bertahun-tahun, menunggu hasil perang Pasifik antara Amerika dan Jepang.

 

Saat Uni Soviet mencaplok Cekoslowakia, siapa yang melindungi Eropa Barat? Amerika. Tanpa mereka, Eropa Barat sudah lama jatuh ke tangan Soviet.

 

Seperti kata Winston Churchill, "The price of greatness is responsibility." Amerika, suka atau tidak, memikul tanggung jawab itu.

 

Sekarang, soal tarif.

 

Sebagai ekonom, baru saya sadari betapa sepihaknya tarif atas produk Amerika. Hampir di seluruh dunia, produk AS dikenakan tarif tinggi. Bahkan sampai 90%. Di Indonesia 64%, di China 69%.

 

Dan itu belum termasuk berbagai hambatan non-tariff.

 

Tidak heran jika Amerika mengalami defisit besar. Dari 2000 sampai 2024, defisit mencapai $16,5 triliun. Lebih dari 12 kali PDB Indonesia. Dalam lima tahun terakhir saja, sudah $4,5 triliun.

 

Selama 24 tahun terakhir, China mencatat surplus yang terus membesar. Sebaliknya, Amerika menanggung defisit yang makin dalam. (lihat grafik)


 Defisit sebesar ini bukan sekadar angka. Kalau defisit bukan masalah, kenapa semua negara mengejar surplus? Jika defisit aman, semua negara pun tak keberatan defisit. Nyatanya tidak.

 

Trump melihat ini. Dia tahu situasinya tak bisa dibiarkan terus. Harus ada tarif timbal balik. Memang, defisit artinya investasi ke AS meningkat. Tapi sifatnya lain. Surplus China dipakai membeli surat utang pemerintah AS. Amerika jadi bergantung dua kali: pada produk impor, dan berhutang ke China.

 

Dunia yang mengenakan tarif tinggi atas produk AS, pada dasarnya, tidak adil. Bahkan cenderung parasitik.

 

Lalu, kenapa Amerika tidak boleh membalas? Meski tarif balasan lebih rendah.

 

Misalnya, China kenakan tarif 69%. Trump balas 34%. Adilkah itu?

 

Bagi yang mentalitasnya korban, tentu tidak adil. Tapi bagi yang jujur, 34% pun belum setara.

Mengapa dunia seolah runtuh?

 

Kalau sekadar tarif balasan dari Amerika sudah mengguncang ekonomi global, itu bukti rapuhnya tatanan ekonomi dunia. Dan bukti betapa dunia bergantung pada Amerika, suka atau tidak.

 

Ironisnya, ini justru dikemas dengan label "perdagangan yang adil". Tapi, apa itu adil? Apakah adil jika satu negara dibebani tarif tinggi, sementara yang lain bebas?

 

Kalau itu dianggap adil, maka merampok tetangga yang kaya juga bisa dianggap wajar. Memungut "uang keamanan" pun jadi seolah sah.

 

Awalnya, saya berharap tarif balasan diterapkan bertahap. Mulai lima mitra utama, lalu diperluas setelah 2–4 bulan. Tapi Trump memilih menerapkannya hampir serentak ke 50 negara. Mungkin demi rasa keadilan.

 

Ironis, ekonom seperti Paul Krugman fanatik pada perdagangan bebas. Tapi selama itu menguntungkan negara lain. Banyak ekonom AS berpandangan serupa. Sayangnya, pikiran mereka sudah lama tercemar ideologi kiri dan liberal.

 

Sekarang, mari bicara Indonesia. Apakah ekonomi kita akan runtuh jika tarif 64% atas produk AS diturunkan jadi 30%?

 

Pertanyaan serupa berlaku global. Apakah dunia akan porak-poranda jika mereka menurunkan tarif atas produk AS?

 

Apakah Trump lebih memilih penurunan tarif atau tarif balasan? Saya kira terbuka untuk negosiasi. Trump sendiri mengatakan, tarif ini adalah pintu untuk memulai negosiasi.

 

Kebijakan Trump lahir dari realitas: praktik perdagangan global sangat tidak adil bagi negaranya. Wajar jika seorang pemimpin yang peduli bangsanya berjuang menciptakan keadilan.

 

Dan seharusnya, setiap pemimpin negara melakukan hal yang sama. Berjuang, pertama-tama, demi kepentingan bangsanya.

 

** Elwin Tobing, ekonom yang pro free trade (dua arah).


 
 
 

Commenti


bottom of page