Tariff Trump: Mengapa? (2)
- Elwin Tobing
- Apr 3
- 4 min read
(Genesis Pengenaan Tariff Dagang dari Presiden Trump)

(Untuk tampilan lebih baik dengan berbagai grafik dan data, klik situs tersebut).
Januari 1992, Presiden George H. W. Bush pingsan saat jamuan makan malam kenegaraan di Tokyo. Ia sedang di Jepang untuk menekan agar perdagangan lebih adil, khususnya bagi produsen mobil AS. Tapi usaha itu gagal. Pasar otomotif Jepang relatif tetap tertutup.
Sepanjang 1980-an hingga 1990-an, Jepang menggunakan berbagai non-tariff barriers untuk menghalangi mobil Amerika. Bukan lewat kuota resmi, tapi dengan segudang aturan: standar keselamatan khusus, regulasi emisi yang rumit, dan kontrol ketat terhadap dealer. Mobil Amerika tak pernah benar-benar masuk pasar Jepang. Pangsa pasarnya tak pernah tembus 5%. Sementara itu, Jepang leluasa ekspor jutaan mobil ke AS.
Bahkan saat Jepang setuju membatasi ekspor mobil ke AS (1,68 juta unit per tahun sejak 1981), mereka cukup geser produksinya ke dalam negeri AS untuk meningkatkan penjualan mobilnya di AS. Defisit tetap jalan.
Jepang (dan Korea Selatan) masih pakai hambatan non-tariff terhadap mobil AS. Office of the United States Trade Representative (USTR) memperkirakan kerugian ekspor mobil AS sekitar $13,5 miliar per tahun ke dua negara itu.
Sekarang top selling mobil penumpang berukuran sedang di AS adalah Toyota, Honda, dan Hyundai.
Masalah bukan cuma Jepang. Hampir semua negara punya cara halus (dan kadang kasar) di luar tariff untuk bikin barang Amerika susah masuk. Laporan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers 2025 dari (USTR) membuka kotak pandora daftar keluhan praktik perdagangan tidak fair yang panjang.
Beberapa poin utama:
China? Tariff tinggi dan berbagai hambatan non-tariff bikin petani AS sulit menjual kedelai, jagung, babi, dan gandum. Jika hambatan dihapus, potensi ekspor bisa naik $6 miliar per tahun.
Brasil? Alasan kesehatan hewan dipakai untuk blokir impor babi dari AS. Defisit perdagangan pertanian AS dengan Brasil pada 2024 mencapai $7 miliar.
Negara lain seperti Argentina, Ekuador, Vietnam, juga batasi barang rekondisi dari AS. Jika larangan ini dicabut, ekspor bisa melonjak hingga $18 miliar setahun.
Semua praktik ini berkontribusi ke defisit perdagangan yang terus membengkak sejak 1970-an.
Berikut fase defisit perdangangan AS sejak dekade 1970-an. Baru lima tahun berjalan, defisit pada dekade 2020-an sudah melebihi defisit pada dekade 2010-an. Ini suatu trend yang mendorong Trump bertindak cepat mengurangi angka defisit tersebut.
Dekade | Defisit (miliar) |
1970-79 | -$495 |
1980-89 | -$839 |
1990-99 | -$911 |
2000-09 | -$5,518 |
2010-19 | -$4,475 |
2020-24 | -$4,608 |
Awal Defisit Perdagangan
Amerika mulai mengalami trade deficit sejak 1970. Sampai 2024, total defisit perdagangan barang AS sudah tembus $16,85 triliun.
Pada dekade 1970-an, pemicunya adalah krisis minyak. Saat itu, negara-negara OPEC menghukum AS karena mendukung Israel dalam perang Yom Kippur melawan Mesir dan Suriah. Mereka menaikkan harga minyak dan menyetop ekspor ke AS dan beberapa negara Eropa Barat.
Pada dekade 1970s–2000s, AS sangat tergantung pada impor minyak. Pada puncaknya, minyak menyumbang lebih dari 40% terhadap defisit perdagangan nasional.
Mulai 2010-an, semuanya berubah, terutama karena revolusi shale oil yang membuat produksi dalam negeri naik tajam. Tahun 2019, AS jadi net exporter produk minyak. Di tahun 2020-an, minyak tak lagi penyumbang utama defisit. Kadang malah netral atau surplus.
Tapi, masalah lain muncul.
Manufaktur Pindah, Kerja Hilang
Sejak 1980-an, banyak pabrik pindah ke negara berkembang—khususnya Asia Timur (Jepang, Korea, China, Taiwan), ASEAN, dan Meksiko.
Alasannya simpel: upah lebih murah dan potensi pasar sejalan dengan peningkatan pendapatan di negara-negara tersebut.
Misalnya, produk Apple seperti I-Phone diproduksi di Cina dengan pangsa pasar domestik Cina mencapai 50%. Chip dan peralatan komputer diproduksi di Jepang, Taiwan dan Malaysia. Pakaian dan sepatu di Cina, Vietnam, dan Indonesia.

Barang-barang ini lalu diekspor ke AS. Jadi, ada dua dampak besar:
1. Pabrik Tutup, Pengangguran Naik
Di AS, pabrik tutup. Lapangan kerja hilang, terutama di negara bagian manufaktur bagian tengah dan sebagian wilayah Timur AS seperti Ohio, Michigan, Pennsylvania. Ini wilayah yang dikenal sebagai Rust Belt.
Angkatan kerja yang tadinya bekerja di industri manfaktur kehilangan pekerjaannya dan terpaksa beralih ke sektor jasa. Tapi gajinya tidak selalu lebih tinggi karena . Banyak yang akhirnya menganggur. Bureau of Labor Statistics (BLS) mencatat antara 1989–1999, ada 848 ribu pekerjaan manufaktur hilang akibat perpindahan pabrik ke luar negeri.
Akibatnya? Lonjakan penyalahgunaan narkoba. Setiap tahun, sekitar 40.000–50.000 anak muda AS meninggal karena overdosis, terutama fentanyl dari Cina dan Meksiko. Pemerintahan Trump juga mengatakan aliran fentanyl masuk dari Kanada yang menyebabkan Trump mengenakan tariff untuk menghentikan aliran obat-obat mematikan tersebut.
2. Defisit Melebar, Pajak Berkurang
Barang yang dulunya dibuat di AS, kini diimpor kembali. Ini bikin neraca dagang makin timpang. Berikut total defisit perdagangan AS dengan beberapa berkembang dan Jepang.
Pendapatan pajak dari sektor bisnis pun menyusut. Tahun 1990, pajak pendapata dari sektor bisnis (corporate income tax) menyumbang 9% terhadap total penerimaan pajak federal. Tahun 2022, kontribusinya turun menjadi hanya 6,5%.
Artinya: perusahaan pindah keluar negeri, kontribusi pajak menurun—baik dari pajak pendapatan bisnis maupun dari pekerja. Inilah latar belakang kebijakan tariff Pemerintahan Trump.
Selama bertahun-tahun, berbagai kebijakan dan praktik perdagangan dari negara-negara mitra—baik berupa tariff maupun non-tariff barriers—membuat neraca perdagangan Amerika Serikat terus mengalami defisit, bahkan defisit yang sangat besar.
Situasi ini makin buruk karena banyak perusahaan AS memindahkan operasinya ke luar negeri. Dampaknya jelas: kesempatan kerja di dalam negeri berkurang, dan penerimaan pajak ikut menurun.
Sebelum masuk ke pembahasan soal dampak tariff terhadap Indonesia dan apa saja potensi solusi yang berkelanjutan, bagian selanjutnya akan menjawab satu pertanyaan penting:
Apakah trade deficit itu benar-benar masalah? Kalau iya, di mana letak masalahnya? Kalau tidak, kenapa dianggap aman?




Elwin Tobing, mengajar ekonomi (ekonomi makro, ekonomi kesehatan, ekonomi kebijakan publik, ekonomi pembangunan, dan ekonomi internasional) dua dekade lebih di berbagai universitas di AS.
Comments