Tarif Trump: Perhitungan dan Solusi untuk Indonesia
- Elwin Tobing
- Apr 6
- 5 min read

(Berikut adalah solusi umum. Solusi detil tersedia atas permintaan resmi).
Sebelum kita menghitung besarnya tarif Trump dan merumuskan solusi untuk Indonesia, mari mulai dengan sebuah kutipan dari Chester L. Karrass, pakar negosiasi terkenal:
“In business, you don’t get what you deserve, you get what you negotiate.”
Semua bisa dinegosiasikan, asalkan ada kemauan dan strategi. Pemikiran ini dipertegas Gavin Kennedy dalam Everything is Negotiable. Dan Donald Trump paham betul soal ini. Sepanjang karier bisnis dan politiknya, Trump berkali-kali membuktikan diri sebagai negosiator ulung.
Ketika Trump menerapkan tarif, ini bukan sekadar kebijakan dagang. Ini manuver untuk menegosiasikan ulang tatanan ekonomi dunia, yang ia anggap timpang. Amerika, negara inovator, tapi yang menikmati hasilnya justru negara lain, Cina.
Cina menerapkan proteksi tinggi lewat pajak, dumping produk murah, dan manipulasi mata uang. Semua demi melindungi produsen mereka—dan merugikan Amerika.
Cara AS Menghitung Tarif
Caranya sederhana. AS menghitung defisit perdagangan dengan tiap negara, membaginya dengan total impor dari negara tersebut, lalu dikali setengah. Contoh untuk Indonesia:
Defisit USD 17,9 miliar dibagi impor USD 28,1 miliar × 0,5 = sekitar 32%.
Angka ini mencerminkan keinginan Trump menekan defisit dan menyeimbangkan neraca dagang.
Negosiasi: Mulai dari Kesamaan
Negosiator ulung, Herbert Cohen, dalam bukunya “You Can Negotiate Anything” dan “Negotiate This!” mengingatkan: selalu mulai negosiasi dari kesamaan.
Baik AS maupun Indonesia sama-sama tertekan, terutama oleh pandemi COVID yang efeknya sampai sekarang. AS menghadapi twin deficits — defisit dagang dan anggaran. Sementara Indonesia merasakan dampak berat dengan utang pemerintah yang membengkak sampai defisit fiskal yang melebar. Kesamaan ini bisa jadi fondasi negosiasi yang lebih konstruktif, bukan sekadar reaksi defensif.
Mengapa Trump menerapkan tarif? Ada tiga alasan utama.
Pertama, untuk mengurangi defisit perdagangan yang membengkak. Defisit ini dipandang sebagai bom waktu bagi ekonomi AS. Ada yang berpendapat defisit aman selama dolar AS jadi mata uang utama dunia. Tapi, ketergantungan berlebihan pada dolar menciptakan risiko tersendiri.
Trump lebih pragmatis. Defisit bukan sekadar angka, tapi cermin ketergantungan AS pada impor. Karena itu, tarif dipakai untuk menekan defisit dan mengurangi ketergantungan.
Kedua, memulangkan industri manufaktur ke Amerika. Ini soal ekonomi sekaligus keamanan nasional. Selama ini, banyak pabrik AS pindah ke Asia, terutama Cina, demi biaya murah.
Trump menggambarkan risiko terburuk: jika perang terjadi, Amerika akan kewalahan. Baja dan obat-obatan, yang vital saat krisis, justru diproduksi di luar negeri.Pandemi COVID-19 membuktikan kekhawatiran ini. Lebih dari 70% antibiotik AS diimpor dari Cina.
Dengan tarif tinggi, Trump berharap pabrik AS kembali ke dalam negeri. Tujuannya jelas: menciptakan lapangan kerja dan memperkuat posisi strategis AS di masa depan.
Ketiga, sebagai sumber pendapatan negara. Trump ingin memangkas pajak penghasilan warga AS. Sebagai gantinya, tarif impor dijadikan sumber penerimaan negara. Produknya tetap dibeli, harganya sedikit naik, dan negara tetap dapat pemasukan.
Jadi, tarif ini bukan sekadar proteksi, tapi juga pengganti pajak pendapatan. Semacam peralihan ke pajak konsumsi yang juga mendorong kebangkitan industri domestik.
Memahami logika ini krusial. Tanpa itu, strategi negosiasi kita akan pincang.
Solusi untuk Indonesia: Strategis dan Pragmatis
Respons kita harus matang, bukan sekadar reaktif. Setidaknya, ada enam langkah.
Pertama, repositioning hubungan dengan AS. Indonesia harus realistis: kita lebih membutuhkan AS daripada sebaliknya. Amerika adalah pemimpin inovasi dan teknologi, sementara kita masih dalam tahap pengguna dan pengembang awal. Karena itu, negosiasi harus ditempatkan dalam kerangka jangka menengah hingga panjang, minimal 10 hingga 40 tahun ke depan.
Fokusnya jelas: menjadikan teknologi, investasi, dan transfer pengetahuan dari AS sebagai bagian dari kepentingan strategis nasional. Ini bukan sekadar hubungan dagang jangka pendek, tapi kemitraan jangka panjang untuk mempercepat modernisasi ekonomi Indonesia dan memperkuat daya saing global kita.
Kedua, terapkan pendekatan pragmatis dalam perdagangan. Amerika ingin pabrik-pabrik mereka pulang ke dalam negeri, bukan pindah ke negara ketiga. Namun, menarik investasi AS di sektor non-sensitif tetap sangat mungkin. Kita bisa tawarkan peluang di sektor yang tidak bersinggungan dengan isu keamanan nasional mereka, seperti agribisnis, energi terbarukan, atau infrastruktur digital.
Selain itu, kita bisa bantu kurangi defisit AS dengan meningkatkan impor barang mereka, khususnya komoditas atau produk strategis yang memang kita butuhkan. Semua ini dapat dinegosiasikan lewat berbagai skema kerja sama. Misalnya, bilateral trade talks, joint ventures, sampai insentif fiskal dan perjanjian dagang terbatas. Kuncinya, fleksibilitas dan penyesuaian sesuai prioritas kedua negara.
Ketiga, rescheduling tarif secara bertahap. Penjadwalan ulang ini penting untuk memberi ruang napas bagi pelaku usaha dalam negeri. Mereka butuh waktu untuk menyesuaikan rantai pasok, biaya produksi, dan pasar ekspor. Bagi pemerintah, ini juga membuka jeda strategis untuk merumuskan langkah lanjutan yang lebih terarah dan memperkuat posisi dalam negosiasi lanjutan.
Keempat, negosiasikan pengurangan tarif pada produk dengan elastisitas tinggi. Pada akhirnya, beban tarif ditanggung konsumen AS. Untuk produk dengan permintaan elastis, kenaikan harga akan cepat memicu tekanan dari pasar domestik mereka sendiri.
Ini bisa menjadi titik tekan dalam negosiasi. Dengan argumentasi kuat, Indonesia dapat mendorong penurunan tarif pada kategori produk ini, sekaligus menunjukkan bahwa solusi ini juga menguntungkan konsumen dan perekonomian AS.
Kelima, diversifikasi mitra dagang. Ketergantungan kita ke Cina sangat tinggi. Tahun 2024, dari total perdagangan USD 133,6 miliar, Indonesia defisit sekitar $2 miliar. Sekitar 70% ekspor kita adalah komoditas sumber daya alam mineral dan sawit. Saatnya perluas pasar ke Asia Selatan, Afrika, Timur Tengah, atau Eropa Timur.
Keenam, eksplorasi perdagangan bebas bilateral Indonesia–AS. Indonesia perlu menjajaki FTA dengan AS untuk membuka akses pasar lebih luas dan memangkas hambatan tarif maupun non-tarif. Selain meningkatkan aktivitas perdagangan, FTA akan mendorong investasi, transfer teknologi, dan peningkatan standar produksi kita. Meski negosiasinya tidak mudah, FTA adalah langkah strategis untuk membangun hubungan dagang jangka panjang yang lebih seimbang dan saling menguntungkan.
Ketujuh, manfaatkan second-track diplomacy. Libatkan think tank, asosiasi bisnis, hingga universitas yang punya akses ke AS. Kadang, jalur informal ini justru membuka pintu resmi.
Kedelapan, yang berguna juga untuk konteks di luar kasus tarif ini, perkuat diplomasi ekonomi dan lembaga pemasaran strategis. Indonesia perlu membentuk task force atau badan khusus yang fokus pada promosi perdagangan dan investasi lintas kementerian. Bukan lembaga biasa, tapi unit yang lincah, profesional, dan punya kapasitas tinggi. Apapun lembaga sekarang yang bertugas untuk itu, itu tidak efektif.
Tugasnya bukan sekadar kampanye dagang, tapi juga menembus birokrasi yang rumit, merespons cepat dinamika global, dan memfasilitasi investor secara konkret. Lembaga ini harus jadi jembatan antara kebijakan dan pelaksanaan di lapangan. Mampu membuka pintu ke pasar baru, membangun relasi strategis, serta memastikan peluang ekonomi tidak hilang karena kelambanan birokrasi.
Tim Negosiator: Harus Tepat
Tim negosiasi harus beragam tetapi tepat. Jangan yang punya satu keragaman perspektif. Itu resep kegagalan.
Pertama, paham penuh dinamika ekonomi-politik AS dan Indonesia. Mereka tahu tekanan domestik AS, juga posisi tawar kita. Membawa tim perunding yang sudah memiliki persepsi dan pemahaman yang salah dengan kebijakan dan pemerintahan Trump adalah keliru.
Kedua, bisa menjembatani perspektif kedua negara. Bukan sekadar menyampaikan pesan Jakarta, tapi juga membaca peta kepentingan AS. Yang jelas bukan yang memiliki sentimen sangat negatif dengan AS dan Trump.
Ketiga, punya visi jangka menengah-panjang. Negosiasi ini bukan hanya soal tarif hari ini. Ini tentang masa depan hubungan strategis Indonesia-AS.
Keempat, punya jaringan tepat di Washington D.C. Relasi dengan pembuat kebijakan, think tank, dan pelobi bisa jadi pembeda antara sukses dan gagal.
Kelima, mahir komunikasi strategis. Negosiasi bukan hanya di ruang tertutup. Opini publik, di AS maupun Indonesia, sangat berpengaruh. Tim harus pandai menjaga narasi agar kepercayaan publik tetap terjaga.
Kita tak bisa menghindari tekanan tarif. Tapi kita bisa mengelolanya, bahkan memutarnya menjadi peluang. Dengan strategi yang cerdas, tim yang solid, dan diplomasi yang terkoordinasi, Indonesia bukan hanya bisa bertahan, tetapi kita bisa melangkah lebih maju.
Seperti kata Chester Karrass:“You don’t get what you deserve. You get what you negotiate.”
(Elwin Tobing, Ekonom dan Presiden INADATA, California, AS)
コメント