top of page
Search
  • Writer's pictureElwin Tobing

Seputar Self-Plagiarism Rektor USU Terpilih

Kemendikbud dijadwalkan tetap meneruskan melantik Dr Muryanto Amin sebagai rektor Universitas Sumatera Utara (USU), meskipun tertuduh pelanggaran paling fundamental dalam dunia akademik, plagiarisme atau penjiplakan.


Tuduhan Plagiat


Menurut tim penelusuran dugaan plagiat yang diketuai Dr Jonner Hasugian (Ketua), Prof Irvan, Prof Erman Munir, Prof Tamrin, Dr Budi Utomo, Suharman Gea, Dr Rondang Tambun dan Sekretariat Wina Viqa Sari, 4 dari 5 karya publikasi Dr. MA yang ditelaah dan diduga terdapat unsur plagiarisme sejak tahun 2014 sampai 2018.


Seperti dilaporkan Harian SIB pada 17 Desember:

Pada prinsipnya, kemiripan 4 artikel yang diterbitkan pada jurnal yang berbeda dengan periode terbit yang berbeda adalah hampir sama. Hal ini mengindikasikan adanya upaya melakukan publikasi jamak atau berulang-ulang dan dilakukan sengaja dengan judul dan isi yang sama.

Diduga terjadi perbuatan plagiat yang merupakan pelanggaran etika keilmuwan dan integritas moral yang berulang-ulang dengan tingkat keseriusan dan intensitas yang tinggi. Diduga telah terjadi perbuatan plagiat karena telah melakukan daur ulang karya, memecah topik, publikasi jamak, penipuan akademik yang merugikan ekspektasi pembaca dan indikasi pelanggaran hak cipta.

Daur ulang karya tulis sendiri untuk publikasi di media ilmiah dan penjiplakan langsung karya sendiri tanpa merujuk pada referensi adalah tetap plagiarisme. Saya akan kembali ke isu ini di bagian berikutnya.


Yang utama dilaporkan di media adalah Dr. Muryanto Amin melakukan penjiplakan atas karya sendiri berupa penerjemahan karyanya dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris. Seperti dilaporkan oleh detik.com:

Muryanto Amin dinyatakan melakukan plagiat atas karyanya sendiri yang berjudul 'A New Patronage Network of Pemuda Pancasila in Governor Election of North Sumatera' yang dipublikasikan pada jurnal Man in India. Karya itu dinilai plagiat dari karya Muryanto sendiri yang dalam bahasa Indonesia berjudul 'Relasi Jaringan Organisasi Pemuda dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara'.

Sesungguhnya masalahnya lebih serius daripada hal di atas. Yang terjadi, berdasarkan penelurusan kami secara sekilas adalah yang bersangkutan melakukan duplikasi karya sendiri dan dikirim ke jurnal untuk publikasi. Ini terjadi tiga kali. Mari kita bandingkan dari abstrak karya tulis berikut:


New Patronage Networks of Pemuda Pancasila in Governor Election of North Sumatra In 2013

Muryanto Amin, Sismudjito , Ameilia Zuliyanti Siregar


Abstract This research is motivated by the emergence of the "thugs" as local actors in North Sumatra that play a role in supporting Gatot Pudjonugroho as a candidate for Governor of North Sumatra. The majority of local actors were coming from a cadre of Pemuda Pancasila. They do not just rely on violence and money owned, but they have a network to rulers in the region. They can use that capacity to gain access to the resources of the local government and maximize the power network owned. The main theory is used Bossism theory of John T. Sidel and Group Violence written by Masaaki and Rozaki. A case study approach and qualitative analysis and typology chosen as a way to draw up a written interpretation of the data, interview and observation. The findings show that a form of intimidation by members of the Pemuda Pancasila is threatening physical beatings and create inconvenience voters who did not vote candidate supported. The pattern of mobilization on the basis of patron-client pyramid. Model relationship that exists between the Pemuda Pancasila with the bureaucracy, businessmen, and local print media carried out on symbiotic mutualism. The phenomenon appears and the persistence of local bosses and violent groups identify their distinctive differences in North Sumatra. A contribution to Political Science theory perspective found in this study is called Theory of New Patronage Network of Local Boss.


Ini dipublikasikan tahun 2018 bersama dua orang penulis lainnya. Berikut artikel tersebut. Tetapi setahun sebelumnya, artikel ini sudah dipublikasikan di jurnal berikut:


A New Patronage Networks of Pemuda Pancasila in Governor Election of North Sumatra

The Social Sciences, 2017, Volume 12, Issue 8, Pages 1456 - 1465


Abstract:

This research is motivated by the emergence of the “thugs” as local actors in North Sumatra that play a role in supporting Gatot Pudjonugroho as a candidate for Governor of North Sumatra. The majority of local actors were coming from a cadre of Pemuda Pancasila. They do not just rely on violence and money owned but they have a network to rulers in the region. They can use that capacity to gain access to the resources of the local government and maximize the power network owned. The main theory is used bossism theory of John T. Sidel and group violence written by Masaaki and Rozaki. A case study approach and qualitative analysis and typology were chosen as a way to draw up a written interpretation of the data, interview and observation. The findings show that a form of intimidation by members of the Pemuda Pancasila is threatening physical beatings and create inconvenience voters who did not vote candidate supported. The pattern of mobilization by patron-client pyramid. The model relationship that exists between the Pemuda Pancasila with the bureaucracy, businessmen and local print media carried out on symbiotic mutualism. The phenomenon appears and the persistence of local bosses and violent groups identify their distinctive differences in North Sumatra. A contribution to political science theory perspective found in this study is called theory of new patronage network of local boss.


Jurnal ini sendiri saya pertanyakan. Editor in chief adalah Imam Shofwan, S. Pd., M. Pd. seorang Asisten Ahli (FIP-Pendidikan Luar Sekolah) di Fakultas Pendidikan, Universitas Negeri Semarang.

Saya sarankan pembaca mengeceknya di link berikut. Selain itu, yang bersangkutan juga Editor in Chief di International Journal: Journal of Nonformal Education.


Pada tahun yang sama, artikel tersebut dipublikasikan di jurnal "Man in India".


A New Patronage Networks of Pemuda Pancasila in Governor Election of North Sumatra

Man in India, January 2017, Vol 97, Issue 18, Pages 23-36


Abstract

This research is motivated by the emergence of the "thugs" as local actors in North Sumatra that play a role in supporting a candidate for Governor of North Sumatra. A case study approach and qualitative analysis and typology chosen as a way to draw up a written interpretation of the data, interview and observation. The findings show that a form of intimidation by members of the Pemuda Pancasila is threatening physical beatings and create inconvenience voters who did not vote candidate supported. The pattern of mobilization on the basis of patron-client pyramid. Model relationship that exists between the Pemuda Pancasila with the bureaucracy, businessmen, and local print media carried out on symbiotic mutualism. The phenomenon appears and the persistence of local bosses and violent groups identify their distinctive differences in North Sumatra.


Lantas, apakah mengirimkan tulisan secara simultan ke beberapa penerbit menyalahi kode etik? Jawabnya, "iya". Setiap jurnal yang kredibel meyakinkan penulis terlebih dahulu bahwa artikel yang dikirimkan adalah eksklusif kepada jurnal terkait dan belum dikirim ke venue atau jurnal lain. Bahkan untuk tulisan artikel opini di surat kabar juga kita harus yakinkan bahwa suatu tulisan tidak sampai diterbitkan di dua tempat karena dikirim ke dua surat kabar berbeda.


Misalnya untuk publikasi di Journal of Population Economics, dan juga jurnal kredibel lainnya, persyaratan adalah "Submission of a manuscript implies: that the work described has not been published before; that it is not under consideration for publication anywhere else."


Jadi ini ada unsur kesengajaan, bukan kelalaian.


Tetapi isu yang muncul di media, khususnya media nasional, adalah kesalahan yang bersangkutan mengirimkan artikel untuk dipublikasikan dalam bahasa Inggris sementara edisi bahasa Indonesia sudah diterbitkan. Versi Bahasa Indonesia artikel tersebut dipublikasikan di June 2014 Jurnal Komunitas Research and Learning in Socioloy and Anthropology, Juni 2014, Vol 6, Issu 1.


Isu plagiat ini muncul setelah Muryanto terpilih sebagai Rektor USU 2021-2026. Muryanto dilaporkan seseorang terkait dugaan plagiat atas karyanya sendiri. Seperti dilaporkan oleh detik.com:


Rektor USU Runtung Sitepu kemudian menindaklanjuti laporan itu. Setelah melewati pemeriksaan oleh tim yang terdiri atas guru besar USU, Runtung Sitepu kemudian mengeluarkan surat keputusan yang menyatakan Muryanto terbukti melakukan self-plagiarism.


Tudingan bahwa tuduhan tersebut bermotifkan politis ditepis oleh Runtung. Menurut Rektor Runtung Sitepu, SK dikeluarkan setelah melewati berbagai proses dan pertimbangan.

"Kenapa orang mengatakan politis, kenapa nggak substansi dari putusan itu benar atau nggak. Kenapa nggak ke situ? Kok politis, politis, itu yang saya sama sekali tidak terima dan sulit saya maafkan kalau dikatakan politis. Karena sama sekali tidak pernah saya lakukan sepanjang hidup saya untuk hal-hal seperti ini menzalimi orang," ujar Runtung.

Pembelaan Kemendikbud


Detik.com melaporkan bahwa Sekjen Kemendikbud Ainun Na'im menampik tuduhan plagiarism tersebut. "Iya, iya, (tak ada self-plagiarism dan bakal dilantik besok)," ujar saat dimintai konfirmasi, Rabu (27/1/2021).


Kemendikbud juga menyatakan bahwa tak ada aturan soal self-plagiarism di Indonesia.

"Itu kan ada tuduhan self-plagiarism ya. Dalam peraturan kita self-plagiarism nggak ada. Yang namanya plagiarisme kalau mengambil karya orang lain. Kalau karya sendiri bukan plagiarisme. Praktik di dunia internasional juga begitu. Nggak ada self-plagiarism itu. Kata self-plagiarism itu dalam berbagai asosiasi peneliti juga nggak ada. Adanya plagiat, plagiat kalau mengambil karya orang lain," ujar Ainun, Senin (25/1).

Mari kita pilah sedikit. Pertama tentang penerbitan dalam berbagai bahasa. Apakah bila satu artikel yang sama diterbitkan dalam 10 bahasa, itu berarti dianggap menjadi 10 artikel yang berbeda? Bagaimana kalau 50 bahasa? Tentu tidak. Itu tetap satu artikel. Ini berbeda dengan buku. Substansi artikel penelitian sepenuhnya dalam kandungannya atau isinya, bukan bahasanya. Bahwa umumnya jurnal menggunakan bahasa Inggris itu adalah karena bahasa universal dalam bidang pendidikan dan penelitian.


Kedua, mengirimkan artikel dalam berbagai bahasa sudah menunjukkan niat tidak baik dari yang bersangkutan. Tidak ada nilai tambah di dalamnya, kecuali bahasa. Tetapi dalam penelitian akademik, kandungan atau isi penelitian yang memegang nilai kunci, bukan bahasa. Bilapun itu dilakukan, seharusnya disertai dengan keterangan bahwa itu adalah versi artikel sebelumnya yang sudah diterbitkan dalam bahasa yang berbeda.


Ketiga, pengiriman artikel yang sama untuk tiga jurnal yang berbeda dalam waktu berbeda (ataupun sama) adalah tidak etis dan PELANGGARAN kode etik. Tidak ada alasan bahwa itu kesalahan pihak jurnal, sebab beban awal adalah di tangan penulis ketika mengirimkan tulisan tersebut.


Keempat, penggandaan atau duplikasi tulisan meskipun tulisan sendiri sampai 50% lebih adalah self-plagiarism. Memang tidak illegal, tetapi pelanggaran kode etik. Apabila itu bukan suatu pelanggaran kode etika, apa artinya kalau setiap orang menggandakan tulisan sendiri dan mengirimnya ke berbagai jurnal. Saya bisa terbitkan karya ilmiah di jurnal 50 dalam setahun.


Bukan untuk menyepelekan kualitas karya orang lain, tetapi secara objektif, saya tidak melihat ada hal yang istimewa dengan artikel di atas sehingga harus dipublikasikan di 4 (empat) jurnal. Seperti saya singgung di tulisan sebelumnya, kemampuan untuk melakukan penelitian dan menerbitkan karya ilimiah dalam jurnal berkualitas merupakan kelemahan dosen kita di Indonesia. Dan itu harus ditangani secara serius dan sungguh-sungguh. Menyepelekan isu seperti itu justru mencibirkan usaha-usaha ke arah pengembangan kualitas penelitian dan publikasi dosen kita. Kemendikbud harus lebih jeli, serius, dan committed terhadap kualitas dan kode etik akademik.


Di sini kita berbicara tentang rektor yang seharusnya menjadi panutan baik dari segi kualitas akademik maupun komitmen dalam menjaga kode etik akademik. Bukankah guru kencing berdiri, murid kencing berlari?


0 comments
bottom of page