Elwin Tobing
Program LPDP sedang mendapat sorotan, terutama terkait kewajiban penerima beasiswa kembali ke Indonesia dan pendanaan untuk program S2. Namun, perdebatan ini lebih menyentuh lapisan permukaan. Persoalan yang lebih mendasar terletak pada orientasi dan fokus dari program LPDP itu sendiri. Dengan anggaran pemerintah yang terbatas, LPDP perlu dikalibrasi agar selaras dengan pembangunan jangka panjang nasional dan memberikan dampak signifikan bagi kemajuan Indonesia
Terintegrasi dan Reorientasi
Lima tahun lalu, dalam diskusi khusus dengan Direktur Utama LPDP, saya menanyakan tentang integrasi program LPDP dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Secara spesifik, saya mempertanyakan apakah LPDP sudah selaras dengan cetak biru perencanaan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan untuk mendukung RPJPN. Saat itu, beliau menyampaikan bahwa LPDP telah beberapa kali meminta dokumen arahan dari Bappenas, tetapi dokumen tersebut belum tersedia.
Beberapa tahun kemudian, saya mengkonfirmasi kepada mantan Kepala Bappenas, yang menyatakan bahwa dokumen tersebut telah disiapkan. Kontroversi yang muncul sekarang menunjukkan bahwa program LPDP mungkin belum terintegrasi strategis dengan RPJPN.
RPJPN idealnya menjawab pertanyaan berikut: Bagaimana rancang bangun ekonomi Indonesia untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045? Apakah kita akan memilih ekonomi berbasis agro-industri padat teknologi, industri manufaktur non-pertanian dan jasa berdaya saing tinggi, atau ekonomi berbasis maritim dan energi terbarukan? Pilihan ini menentukan komposisi SDM inti yang berperan sebagai penggerak utama pembangunan sesuai arah ekonomi yang dipilih.
Di sini, melalui beasiswa luar negeri, LPDP berperan penting dalam menyiapkan SDM inti untuk mencapai target tersebut. Hal ini dapat tercapai jika para penerima beasiswa kembali ke tanah air sebagai ahli, inovator, atau penggerak ide inovatif dalam pembangunan. Setidaknya, mereka akan menjadi bagian dari jaringan SDM global Indonesia yang berkontribusi langsung dan terarah bagi kemajuan Indonesia.
Dalam ekonomi berbasis pengetahuan saat ini, tenaga kerja berkeahlian tinggi menjadi pilar utama. Angkatan kerja berpendidikan tinggi, seperti lulusan doktor, krusial dalam pengembangan ilmu, teknologi, dan inovasi yang mendorong kemajuan ekonomi. Di sisi lain, pekerja dengan keterampilan khusus, meskipun tanpa gelar tinggi, sangat penting dalam implementasi dan optimalisasi teknologi baru. Keahlian teknis mereka memastikan inovasi dapat diwujudkan menjadi produk dan layanan yang meningkatkan produktivitas dan daya saing
Karena itu, LPDP perlu reorientasi prioritas untuk lebih mendukung pendidikan doktoral (S3), spesialisasi S2 yang relevan, serta program sertifikasi dan pelatihan, terutama di bidang yang mendukung pengembangan ekonomi nasional sesuai RPJPN. Idealnya, alokasi dana LPDP untuk program luar negeri dibagi menjadi 60-70% untuk pendidikan S3, 10% untuk spesialisasi S2, dan 20-30% untuk program sertifikasi dan pelatihan. Dengan komposisi ini, LPDP diharapkan dapat menghasilkan tenaga ahli dan teknis berkualitas yang siap menjadi penggerak pembangunan di sektor-sektor strategis.
Fokus Program
Bukti empiris dari negara-negara maju menunjukkan bahwa perguruan tinggi adalah tulang punggung pembangunan dalam ekonomi berbasis pengetahuan. Institusi pendidikan tinggi yang unggul tidak hanya menghasilkan SDM terampil dan berkeahlian tinggi, tetapi juga berperan sebagai produsen pengetahuan dan penggerak inovasi—dua elemen mendasar dalam ekonomi tersebut.
Oleh karena itu, perguruan tinggi di Indonesia perlu diperkuat dan diberdayakan dengan lulusan S3 yang kompeten, khususnya mereka yang menempuh pendidikan di negara-negara maju. Saat ini, perguruan tinggi kita masih sangat kekurangan tenaga dengan kualifikasi tersebut. Sebagai perbandingan, dalam 30 tahun terakhir, jumlah mahasiswa S3 asal Korea Selatan di Amerika Serikat mencapai sekitar seribu orang per tahun, sementara dari Indonesia hanya sekitar 100 orang. Dalam tiga dekade, perbedaan jumlah ini mencapai 27.000 orang, padahal populasi Korea hanya seperlima dari jumlah penduduk Indonesia.
Kualitas dosen sangat menentukan mutu pendidikan tinggi. Untuk membangun perguruan tinggi yang mampu bersaing di tingkat Asia dan global, Indonesia memerlukan sekitar 10.000 hingga 15.000 dosen dan peneliti lulusan program S3 luar negeri yang solid dan rigor dalam 10 tahun mendatang. Inilah yang seharusnya menjadi fokus utama program LPDP.
Dengan demikian, kekhawatiran bahwa lulusan LPDP sulit mendapatkan pekerjaan di tanah air dapat teratasi. Mereka diarahkan untuk mengisi posisi dosen dan peneliti di kampus serta lembaga riset Indonesia, yang akan meningkatkan kapasitas pengajaran, kualitas penelitian, dan berkontribusi positif pada pengembangan modal manusia dan pengetahuan di Indonesia.
Kekhawatiran bahwa nilai mereka akan berkurang karena kembali ke Indonesia juga tidak beralasan; berlian, di mana pun berada, tetap berlian. Mengingat biaya kuliah per tahun di luar negeri, khususnya di AS, setara dengan 20 kali pendapatan per kapita Indonesia, diperlukan feedback yang seimbang dari investasi ini, terutama dalam kondisi fiskal pemerintah yang terbatas dan kebutuhan alokasi lainnya.
Elwin Tobing, Profesor ekonomi dan Presiden INADATA Consulting, Irvine. Bukunya “AGENDA INDONESIA: Transformasi Sistim Pendidikan Tinggi Nasional dalam Mendukung Visi Indonesia Emas 2045” akan terbit Januari/Februari 2025.
Comentarios