Anak RI kurang gizi. Fakta yang sulit dibantah. Sekitar 25 tahun lalu, lebih dari 40% balita mengalami stunting akibat kekurangan gizi kronis. Tak heran, rata-rata IQ penduduk Indonesia hanya 78,5 (peringkat 130 dari 199 negara), dan kemampuan membaca, sains, serta analitis pelajar SMP kita konsisten di peringkat bawah global.
Masalah ini berlanjut hingga usia dewasa. Seperti dicatat Lant Pritchett, keterampilan literasi lulusan universitas di Jakarta masih di bawah rata-rata pelajar SMA di negara OECD. Bahkan, laporan World’s Most Literate Nations 2016 menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara.
Di era ekonomi berbasis pengetahuan, literasi, inteligensia, dan keterampilan adalah kunci masa depan. Tanpa transformasi signifikan, sulit membangun Indonesia yang maju.
Karena itu, langkah Presiden Prabowo memperbaiki gizi anak patut diapresiasi. Namun, implementasinya harus strategis, efisien, dan terintegrasi, dengan tantangan besar pada pengelolaan dan mentalitas penyelenggara.
PERLU REVOLUSI MENTAL
Program gizi membutuhkan dana besar. Justru di sinilah masalahnya. Kita belum memiliki mental yang kuat untuk secara efisien dan efektif mengelola dana besar. Anggaran negara saja diperkirakan bocor 30%. Tanpa perubahan mentalitas, program ini bisa beralih menjadi "proyek gizi" dengan risiko markup, kickback, dan berbagai bentuk kebocoran lainnya. Dana pendidikan saja sering dikorupsi.
Kami menjalankan program peningkatan kapasitas dan perbaikan pembangunan daerah untuk pimpinan daerah dan pemerintah pusat. Namun, seringkali pertanyaan pertama bukan tentang substansi program, melainkan "berapa uang sakunya." Sarat mental proyek.
Sebelum ekspansi Program Gizi, pelaksana dan birokrat perlu mengalami revolusi mental, dari mental proyek menjadi mental program. Perbedaan utamanya:
Mental Proyek: Fokus keuntungan pribadi, semua urusan musti susah, orientasi jangka pendek dan tambal sulam, serta fokus pada biaya.
Mental Program: Fokus manfaat, bagaimana supaya program berhasil, orientasi jangka panjang dan fundamental, serta fokus pada cost-effectiveness.
Dana Desa adalah pelajaran penting. Dalam 10 tahun terakhir, sekitar Rp 610 triliun telah digelontorkan. Namun, multiplier effect terhadap pertumbuhan ekonomi masih jauh dari optimal. Hal ini mencerminkan lemahnya orientasi sistematis, dengan banyak penyelenggara yang masih terjebak dalam mental proyek.
PENDEKATAN SISTEMATIS
Untuk memastikan keberhasilan dan menghindari jebakan mental proyek, Program Gizi membutuhkan pendekatan sistematis berikut:
Pertama, tahun 2025 adalah eksklusif pelaksanaan pilot program di beberapa kabupaten di 5-10 provinsi, dengan variasi latar belakang daerah.
Kedua, penyelenggaraan ditangani oleh Pemda, sementara pemerintah pusat menyediakan anggaran dengan batas minimum tertentu. Pemda dapat menambah anggaran sesuai kebutuhan daerah mereka.
Ketiga, Badan Gizi Nasional berkoordinasi dengan Pemda, Kemendagri, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Pendidikan. Fungsi mereka lebih pada koordinasi operasional. Anggaran sudah disalurkan oleh pemerintah pusat melalui Kemenkeu kepada Pemda.
Keempat, anggaran pilot program dialokasikan Rp 5T untuk 1,5 juta anak, dengan overhead maksimum 15%. Jadi anggaran Program Gizi tahun 2025 hanya perlu Rp 5T.
Kelima, pilot program dievaluasi secara menyeluruh. Ini meliputi pengorganisasian, mutu makanan, distribusi, mata rantai produksi, efektivitas program, hingga dampak perilaku penerima.
Setelah evaluasi, program diperluas bertahap, dimulai dari anak SD, menyesuaikan dengan kondisi fiskal. Pada tahun kelima, program diharapkan dapat diterapkan penuh di seluruh Indonesia, terutama seluruh siswa SD.
Meluncurkan program secara massal pada tahun pertama tidak bijaksana. Selain, kondisi fiskal yang ketat yang tidak kalah penting adalah memastikan koordinasi serta kualitas program berbasis data yang akurat.
PRIORITAS KRUSIAL LAIN
Pada 2025, Program Gizi dianggarkan Rp 71T, sementara renovasi sekolah hanya Rp 20T. Angka ini terlihat besar, tetapi jauh dari cukup mengingat realitas fasilitas sekolah di Indonesia.
Menurut Rapor Pendidikan 2024, kemampuan siswa SMP umumnya bernilai D hingga F:
Membaca teks: D-/D
Aljabar: F
Nalar: D-/F
Bagaimanapun, fasilitas fisik sekolah sangat memengaruhi kualitas pendidikan. Saat ini:
60% dari 1,447 juta ruang kelas sekolah negeri rusak, dengan 445 ribu dalam kondisi sedang hingga berat.
40% dari 156 ribu sekolah negeri tidak memiliki toilet atau toilet dalam kondisi rusak.
Fasilitas penting seperti perpustakaan dan lingkungan yang mendukung masih sangat minim.
Agar fasilitas sekolah menjadi normal, diperlukan investasi rata-rata Rp 2M per sekolah, atau total Rp 312T dalam lima tahun. Minimal, Rp 200T diperlukan untuk membenahi 60% sekolah agar layak.
Ini belum termasuk kualitas guru dan program ekstrakurikuler.
Karena fasilitas fisik dan software sekolah berdampak langsung pada seluruh siswa, faktor ini lebih vital dalam membangun SDM Indonesia.
EKOSISTEM PEMBANGUNAN SDM
Sarapan berkualitas lebih berpengaruh pada nutrisi harian dibanding makan siang, karena memulihkan energi dan mendukung metabolisme setelah 12 jam tanpa asupan. Namun, ketersediaannya sangat bergantung pada kemampuan ekonomi keluarga.
Tanpa kapasitas ekonomi rakyat yang memadai, perbaikan gizi sulit tercapai secara berkelanjutan. Karena itu, mengatasi masalah gizi nasional membutuhkan pendekatan sistematis yang terintegrasi, mencakup peningkatan produksi pangan, penciptaan lapangan kerja layak, dan revitalisasi program Ibu dan Anak.
Membangun SDM nasional lebih daripada program gizi nasional. Itu sangat memerlukan sistim pendidikan yang mendukung. Dalam hal ini, selain infratruktur fisik dan software sekolah seperti diuraikan di atas, reformasi total pendidikan tinggi juga mendesak, yang membutuhkan investasi besar tetapi berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Semuanya bagian dari upaya transformasi ekosistem pembangunan SDM menuju Indonesia Emas 2049.
Sebagai perbandingan, pengeluaran infrastruktur dalam 10 tahun terakhir mencapai Rp 3.600 triliun (15% PDB), namun kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi belum optimal. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur saja tidak cukup tanpa integrasi yang kuat dalam ekosistem pembangunan ekonomi. Artinya, agar investasi besar memberikan dampak maksimal, diperlukan persiapan matang, termasuk penguatan mata rantai dan jaringan yang terkait dalam ekosistemnya.
Comentarios