Dua tahun lalu, tepatnya 24 Oktober 2021, dalam suatu video, sadar atau tidak, figur ini secara terbuka mengakui hal berikut:
"Kami telah membangun, saya pikir, organisasi penipuan pemilih yang paling ekstensif dan inklusif dalam sejarah politik Amerika." ("We have put together, I think, the most extensive and inclusive voter fraud organization in the history of American politics”).
Bukan salah kutip. Dan bukan di luar konteks.
Saat itu, meski video tersebut beredar, tidak banyak yang antisipasi bahwa hal itu akan terjadi. Sehari setelah Pemilu 2020, di majalah online American Thinker tanggal 5 November 2020, dengan menghadirkan berbagai contoh kasus, saya menulis bahwa praktik manipulasi hasil pemilihan di AS, dalam berbagai tingkat pemilihan (negara bagian atau Federal), bukan hal baru. Tetapi tidak terbayang bahwa di AS, hal semasif tahun 2020 itu akan dilakukan. Dan praktis secara terbuka.
Siapakah figur yang mengatakan statement di atas? Joe Biden.
Hanya dalam 10 hari, Amerika mengalami tindakan organisasi penipuan pemilih yang paling ekstensif dan inklusif dalam sejarah politik negaranya.
MEDIA DAN REALITAS
Media dan realitas bisa setali tiga uang. Sama seperti diktum Joseph Goebbels, tokoh propaganda Nazi, “Jika Anda mengulangi kebohongan cukup sering, orang akan mempercayainya.”
Peristiwa fiktif bisa menjadi dianggap realitas.
Sebaliknya, peristiwa yang benar-benar terjadi, tetapi tanpa ada ekspose dari media, orang beranggapan bahwa peristiwa tersebut tidak terjadi. Ini namanya lying by omission. Berbohong dengan menghiraukan. Realitas bisa jadi dianggap fiktif.
Belum pernah dalam sejarah modern AS, narasi politik tentang manipulasi Pemilu 2020 di AS diredam lewat suatu koordinasi luar biasa dari media dan Big Tech (Google, YouTube, Facebook, Twitter). Sebab 90% mereka pendukung Partai Demokrat. Media dan Big Tech tersebut melarang segala bentuk kampanye sosial yang mempertanyakan secara terbuka Pemilu 2020.
Tidak salah bila ada adagium bahwa siapa yang mengontrol media, dia yang mengontrol narasi, dan pada gilirannya, mengendalikan realitas.
Sampai saat ini, praktis tidak ada audit terbuka yang dilakukan organisasi independen terhadap hasil Pemilu 2020, terutama di negara-negara bagian yang bermasalah. Media, Big Tech, dan Partai Demokrat mengatakan bahwa Pemilu 2020 tidak ada masalah. Dan, itu menjadi narasi yang berubah menjadi “realitas”.
PEMILIHAN PARUH WAKTU (PPW)
Ini membawa kita pada pemilihan paruh waktu (PPW) di AS yang dilakukan dua tahun setelah Pemilihan Umum yang memilih Presiden. Tahun ini dilakukan pada 8 November.
Pada PPW, semua anggota DPR dipilih lagi sebab periode mereka hanya 2 tahun. Sepertiga anggota senate serta 34 dari 50 gubernur juga dipilih kembali. Ini memberikan kesempatan kepada pemilih AS untuk memberikan koreksi kepada eksekutif (Presiden) apabila dipandang tidak becus memimpin negaranya. Koreksi ini adalah dengan memilih anggota DPR dan Senat dari Partai yang berbeda dengan presiden supaya terjadi perimbangan di Washington.
Hal ini sudah terjadi beberapa kali. Yang paling kesohor tentu adalah PPW tahun 1994 ketika Partai Republik, yang dimotori Newt Gingrich, memenangkan Kongres setelah Partai Republik menjadi minoritas di Kongres hampir 40 tahun. Partai Republik juga memenangkan suara mayoritas di Senate.
Dua tahun sebelumnya, Bill Clinton dari Partai Demokrat memenangkan kursi presiden.
Hal yang sama terjadi di tahun 2006. Dua tahun sebelumnya, tahun 2004, George Bush baru terpilih kembali. Pada PPW 2006, Partai Demokrat mengontrol Kongres dan Senat.
Obama terpilih tahun 2008. Pada PPW 2010, Partai Republik mengontrol Kongres dan Senat.
Tahun 2018, dua tahun setelah Trump terpilih, Partai Demokrat mengontrol Kongres sementara Senate dipegang Partai Republik.
Pendulum politik yang bergerak kiri kanan ini yang memberikan perimbangan kekuatan politik di AS.
Tidak ada demokrasi yang sempurna. Tetapi dengan adanya kesempatan kepada pemilih untuk memberikan koreksi atau peringatan kepada pemimpin dan perwakilan mereka melalui suara mereka di PPW, mau tidak mau para politisi tersebut sedikit banyak akan memberikan perhatian terhadap suara publik.
Ketika bertemu Gingrich tahun 2012, yang kemudian menjadi Ketua/Speaker Kongres dari 1994-1998, saya menanyakan faktor kunci yang membuat Partai Republik menjadi mayoritas di Kongres tahun 1994 setelah empat dekade menjadi minoritas. Kurang lebih jawabnya bahwa ketika kekuasaan yang ada sudah melenceng dari harapan publik dan negara dianggap salah arah atau Anda memiliki gagasan yang lebih untuk masa depan, maka pemilih akan memilih Anda.
NEGARA SALAH ARAH DAN SALAH URUS
Terlepas apakah kekuasaan tahun 2020 lahir karena penipuan suara secara masif atau tidak, saat ini negara sedang salah arah dan salah urus:
Harga BBM meningkat 60-100%. Terutama karena kebijakan Partai Demokrat yang menghalangi peningkatan produksi minyak domestik.
Bunga cicilan rumah meningkat 100%.
Inflasi meningkat dari 1.43% di tahun 2020 menjadi hampir 9% tahun 2022.
Perang di Ukraine yang tidak menentu yang rakyat umum Amerika menilai karena juga andil Partai Demokrat.
Tingkat kriminal seperti pencurian dan perampokan meningkat minimal 20% dibanding tahun 2020.
Jumlah imigran gelap yang menerobos perbatasan Selatan AS mencapai 5 juta orang. Bukan bagaimana membatasi aliran imigrasi gelap tersebut, tetapi Pemerintah Federal AS sekarang malah seperti mendorongnya.
Sementara dari berbagai jajak pendapat terakhir yang dilakukan grup media yang umumnya pro Partai Demokrat:
NBC:
81% warga Amerika mengatakan bahwa mereka tidak puas dengan situasi ekonomi saat ini.
72% pemilih percaya bahwa AS berada pada jalan yang salah.
44% “setuju” dengan kinerja Biden versus 53% “tidak setuju”.
79% pemilih Amerika percaya bahwa negaranya “di luar kendali”.
49% kaum yang independen mendukung Partai Republik dibanding 33% untuk Partai Demokrat. Beberapa minggu sebelumnya, kelompok ini mendukung Partai Demokrat 40% dan Partai Republik 38%.
Jajak pendapat terakhir dari Wall Street Journal, media lebih independent, pada 2 November mengungkapkan hal menarik. Kaum perempuan kulit putih yang tinggal di daerah pinggiran kota, yang merupakan 20% dari pemilih dan secara tradisional pendukung Partai Demokrat, sekarang mendukung Partai Republik untuk Kongres sebesar 15 poin persentase, menjauh 27 poin persentase dari Demokrat sejak jajak pendapat dari surat kabar tersebut pada bulan Agustus lalu.
Jajak pendapat tersebut mengungkapkan bahwa kekuatiran utama kelompok pemilih tersebut adalah ekonomi dan meningkatnya inflasi.
Banyak prediksi mengatakan PPW ini bukan hanya gelombang merah (Republikan), tetapi dianggap seperti tsunami merah.
Newt Gingrich memprediksi bahwa Partai Republik akan unggul dalam PPW ini dengan selisih 46 kursi. Artinya, Partai Republik akan mengontrol Kongres dengan total sekitar 245 kursi vs 190 kursi untuk Demokrat. Untuk Senate, Gingrich memprediksi bahwa Partai Republik akan mayoritas dengan selisih 3-5 kursi.
PREDIKSI MENJADI REALITAS?
Apakah tsunami merah akan benar-benar terjadi? Itu tergantung apa sesungguhnya yang terjadi pada Pemilu 2020.
Beberapa hari lalu, Biden sudah mengatakan bahwa Partai Demokrat akan tetap mengontrol Senate dan kemungkinan juga Kongres. Bagaimana mungkin?
Lebih mudah mengontrol perolehan suara Senat, apakah dengan cara jujur atau tidak, karena menyangkut pemilihan di dalam satu negara di banding Kongres yang jumlahnya 435 distrik di seluruh AS.
Sejauh ini sudah berkembang berbagai hal-hal mencurigakan seputar PPW ini. Di negara bagian Pennsylvania (PA) misalnya, petugas partai Demokrat sudah mengirim lebih 250 ribu kertas suara melalui pos kepada pemilih yang tidak jelas identitasnya.
Petugas pemilihan di PA juga mengatakan bahwa hasil pemilihan di negara bagian tersebut mungkin tidak ketahuan pada malam hari pemilihan. Mengapa hasil Pemilu di Perancis bisa ketahuan satu hari sementara di negara bagian saja dan di jaman modern harus makan waktu beberapa hari?
Saat ini kontes pemilihan gubernur dan senat di PA cukup ketat dan Partai Republik diproyeksikan menang kursi senat.
Tetapi Pennsylvania adalah salah satu negara bagian yang bermasalah pada Pemilu 2020. Pada tahun 2020, hasil Pemilu di PA “ketahuan” tiga hari setelah Pemilu. Pada malam Pemilu, Trump unggul hampir 750 ribu suara. Tetapi kemudian perhitungan suara dihentikan hampir 6 jam. Setelah itu, Trump “kalah” sekitar 80 ribu suara.
Dan apa yang terjadi di PA pada tahun 2020 bisa jadi terjadi juga pada PPW ini.
Di Wisconsin, salah satu negara bagian bermasalah tahun 2020, Rep. Brandtjen, Ketua Majelis untuk Kampanye dan Pemilu di Winconsin mengirimkan peringatan kecurangan pemilu. Masalahnya dia menerima tiga surat suara militer otentik ke rumahnya yang ditujukan kepada “Holly,” seorang wanita yang belum pernah tinggal di rumah tersebut. Pada Pemilu 2020, di beberapa county di negara bagian bermasalah, Biden memenangkan mutlak suara militer yang dikirim melalui pos, meskipun secara historis militer lebih pro Partai Republik.
PRINSIP DASAR DEMOKRASI
Demokrasi pada prinsipnya one man one vote. Dan pemilihan adalah ajang untuk mengungkapkan aspirasi suara tersebut. Tetapi bila one man sudah tidak berarti one vote lagi, meski terjadi pemilihan dan proses demokrasi formal, pada dasarnya proses tersebut sudah terkorupsi. Demokrasi sebagai sebuah prosedur bisa bertahan meski palsu seperti di jaman Saddam Hussein Iraq atau negara diktator lainnya.
Tetapi, bila demikian, apakah sesungguhnya suatu Republik bisa bertahan nasibnya?
(Berikutnya: Modus Praktik Kecurangan Pemilu dan Peringatan untuk Indonesia)
Comments