top of page
Search
  • Writer's pictureElwin Tobing

Pancasila yang Tersandera

Updated: Jun 15, 2020

Pemahaman Pancasila sebagai cita-cita manusia dan bangsa Indonesia cenderung sudah luntur dewasa ini. Salah satu penyebabnya adalah kecenderungan Pancasila hanya sebagai wasit untuk menengahi perdebatan antara kelompok yang mau menjadikan Indonesia negara agama vs yang mempertahankan persatuan Indonesia.


Bila kelompok yang pertama cenderung menawarkan politik identitas, kelompok kedua cenderung menawarkan slogan. Kaum nasionalis, yang menginginkan dan memperjuangkan persatuan Indonesia, menekankan sila “Persatuan Indonesia.” Kepedulian dari golongan yang mengedepankan sila ketiga ini dapat dipahami karena realitas agama dan politik yang berbaur dan saling terkait yang bisa menggiring pada politik identitas yang kuat yang pada gilirannya dapat mengancam perpecahan nasional. Sementara itu, kaum agamis, yang dalam hal ini sebagian dari kalangan yang beragama Islam, menekankan sila pertama Pancasila di mana kata “Esa” diyakininya merujuk pada Ilahi yang dipercayainya sehingga negara harus dilandaskan atas keyakinan agamanya.


Kedua kubu ini ada benarnya, tetapi pemahaman mereka tidak lengkap.


Sila ketiga tersebut tidak lepas dari sila pertama. Persatuan Indonesia didasarkan atas persatuan manusia-manusia Indonesia yang memiliki keyakinan dan kepercayaan kepada yang Ilahi. Demikian juga bahwa sila pertama tidak lepas daripada sila ketiga. Artinya, Indonesia yang dilandaskan atas kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa juga dilandaskan atas semangat dan pengakuan akan kemajemukan masing-masing manusia Indonesia.


Jadi, negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa itu berarti bahwa negara mengakui setiap orang mempercayai keberadaan Tuhan-nya sesuai apa yang di-imaninya, sebab Pancasila terbentuk dari kekayaan budaya, bahasa, suku, serta agama/kepercayaan yang majemuk. Ketidak-utuhan melihat Pancasila dalam konteks bangsa Indonesia yang majemuk itu membuat wacana yang berkembang cenderung menjadi antara “agama versus persatuan” atau antara “agamis vs nasionalis.”


Yang memperjuangkan negara agama (Islam) atau agamis menggunakan sila kedua dan kelima yang dianggapnya gagal terwujud sebagai alasan bahwa negara berdasarkan Pancasila sudah gagal, dan oleh karenanya dasar negara harus diganti. Tetapi kalangan ini lupa dua hal, yakni (1) bahwa Indonesia sangat majemuk, dan (2) mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan sendirinya mengganti cita-cita yang terkandung dalam Pancasila tersebut, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan sebagian rakyat Indonesia.


Di lain pihak, kaum nasionalis yang memahami konsekuensi yang terjadi apabila Indonesia menjadi negara agama atau hukum-hukum yang berlaku dalam kehidupan bermayarakat, berbangsa, dan bernegara didasarkan atas hukum-hukum agama, tidak menawarkan alternatif wacana atau narasi yang bisa memberikan pemahaman yang jernih dan menyentuh pribadi manusia Indonesia tentang Pancasila.


Yang kita lihat adalah berbagai semboyan atau pernyataan seperti “NKRI harga mati”, “100% Pancasila, 100% Indonesia”, “Pancasila atau mati”, “Saya Pancasila”, “I © Pancasila”, “Aku Cinta Pancasila”, dan lain sebagainya.


Semua itu merujuk bahwa Pancasila berarti persatuan Indonesia. Tentu kita dapat bertanya, apa yang dimaksud dengan persatuan Indonesia. Apa juga sebetulnya esensi persatuan Indonesia yang dimaksud dalam Pancasila? Sejauh ini, kaum nasionalis baru menawarkan “Persatuan Indonesia.”


Akhirnya Pancasila cenderung hanya sebagai wasit atau sebagai rujukan untuk menengahi kaum agamis dengan nasionalis. Ini membuat Pancasila menjadi statis dan persatuan yang berkembang pun cenderung masih semu. Dan yang tidak kalah penting, penekanan sila pertama vs sila ketiga ini menjadikan sila-sila lainnya seperti terisolasi, akhirnya Pancasila cenderung kehilangan makna dan semangat dari sila lainnya.


Pancasila menjadi tersandera oleh dikotomi parsial dan statis seperti digambarkan di atas. Dan akhirnya kurang menyentuh pribadi-pribadi manusia Indonesia.


Kita pun mengalami kekosongan narasi dan pegangan tentang identitas kita sebagai individu dan bangsa Indonesia. Dan Pancasila menjadi kehilangan makna sebagai tuntunan dalam berperilaku yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai dan cita-cita yang dikandungnya pun menjadi kabur.


Semangatnya pun menjadi luntur. Sementara, seperti disampaikan oleh Moh. Yamin dalam penjelasannya tentang UUD 1945, yang tidak kalah penting daripada UUD 1945 itu sendiri, yang mengandung Pancasila di dalamnya, adalah semangat para pelakunya. Bila ditarik lebih jauh, semangat rakyat Indonesia dalam menjiwainya.


Ditulis dengan kombinasi riset, pengetahuan populer, dan pengalaman pribadi, INDONESIAN DREAM menawarkan revitalisasi narasi terhadap pemahaman Pancasila sebagai cita-cita manusia dan bangsa Indonesia. Revitalisasi narasi ini, yang diinspirasikan dan digali kembali dari isi pidato Ir. Soekarno dalam rapat BPPKI pada 1 Juni 1945, sifatnya menyentuh kepribadian masing-masing manusia Indonesia yang adalah justru entitas yang membangun bangsa Indonesia, salah satu pemahaman yang juga agak keliru dewasa ini.


Jadi paradigma manusia membangun bangsa, bukan bangsa membangun manusia, sangat kental dalam buku ini.

Narasi tentang Pancasila di dalam buku ini tidak hanya dimaksudkan untuk merevitalisasi Pancasila; lebih daripada itu, itu ditujukan untuk mencapai cita-cita Indonesia seperti termaktub dalam Pancasila, yaitu menjadi manusia dan bangsa yang berdaulat. Kata “berdaulat” di sini memiliki tiga komponen, yakni merdeka, berkeadilan, dan berpengetahuan.


Buku ini kemudian membahas bagaimana Indonesia dapat mewujudkan ketiga komponen tersebut. Yaitu, dengan membangun tiga modal esensial: modal spiritual (spiritual capital), modal sosial (social capital), dan modal manusia (human capital). Ketiga jenis modal ini, yang masing-masing dibahas dalam tiap tiga bab, terkandung (embodied) di dalam manusia—kekayaan utama kita sebagai individu dan bangsa

0 comments
bottom of page