top of page

Oplosan vs Sejati: Meiji Restorasi Indonesia (3)

  • Writer: Elwin Tobing
    Elwin Tobing
  • Mar 26
  • 2 min read



INDONESIA 360: A 360° Perspective in 360s Words.


14 Juli 2007. Stadion GBK dipenuhi 80 ribu suporter Indonesia, termasuk saya. Teriakan “Indonesia!” menggema saat timnas menghadapi Arab Saudi di Piala Asia. Setelah menang mengejutkan atas Bahrain, harapan membumbung. Meski kalah 1-2, suporter tetap semangat berteriak.

 

Mungkin sedikit yang lebih ingin dari saya melihat Indonesia lolos ke Piala Dunia. Impian sejak kecil.

 

Tahun 1985 saat masih remaja, saya menulis dua artikel di koran terbesar di Sumatera Utara. Isinya masukan kepada pelatih Sinyo Aliandoe bagaimana mengalahkan Korea Selatan demi membawa PSSI lolos ke babak kualifikasi berikutnya Piala Dunia 1986.

 

Saat itu, PSSI masih mengandalkan pemain liga amatir. Meski kini sudah tiga dekade punya liga profesional, prestasi internasional tetap stagnan.

 

Kenapa? Mungkin sistemnya keliru. Atau belum paham menjalankan sistem yang benar. Mungkin keduanya.

 

Mirip pendidikan tinggi. Meski 3.000 perguruan tinggi di Indonesia, belum satu pun bisa bersaing di level Asia. Bahkan dengan Singapura dan Malaysia pun tertinggal. Sistemnya salah, eksekusinya lemah, dan yang lebih parah—kita kurang sadar ada yang salah.

 

PSSI dan pendidikan tinggi adalah cerminan masalah bangsa: cenderung asal, jalan pintas, dan sistem lemah.

 

Keluar dari stadion, penonton masih berteriak “Indonesia”. Haus kemenangan. Tapi, yang sejati atau oplosan?

 

Pertamax asli atau oplosan? Jawabannya menunjukkan tingkat toleransi kita terhadap oplosan.

 

FIFA memang membuka peluang naturalisasi karena globalisasi. Aturan ini muncul dari konteks Eropa yang melahirkan banyak pemain keturunan Afrika. Mereka bingung: bela negara kelahiran atau asal orang tua? FIFA ingin memberi ruang bagi warga negara ganda dan diaspora. Secara etis, ada batasnya, bukan untuk memenuhi hampir seluruh skuad.

 

Aturan boleh longgar, tapi bukan berarti disalahgunakan. Hanya karena boleh, bukan berarti itu benar. Banyak hal legal tapi tak etis. Seorang gubernur boleh mengangkat siapa pun sebagai pejabat; bukan berarti siapa saja sesuka hatinya. Dibutuhkan integritas dan kejujuran pada diri sendiri untuk membedakan keduanya.

 

Tahun 1938 Indonesia berlaga di Piala Dunia. Dengan pemain dan pelatih Hindia Belanda. Masih era terjajah.

 

Maju ke 87 tahun berikutnya, kita ingin tampil di Piala Dunia. Dengan pemain dan pelatih Hindia Belanda. Mungkin masih era terjajah. Secara mental.

 

PSSI naturalisasi ekstrim hanyalah cermin dari pola pikir bangsa yang rela mengorbankan prinsip demi hasil cepat. Bangsa seperti itu tidak akan pernah jadi pemenang sejati. Selamanya bangsa oplosan. Bapak pendiri bangsa mungkin menangis di kuburnya.


* Tinggal di AS sejak tahun 1995 . Lulus doktor bidang ekonomi (bukan oplosan) dan mengajar jadi profesor ekonomi. Menulis ratusan artikel dan beberapa buku untuk memajukan Indonesia, termasuk untuk anak-anak. Tiga bukunya untuk membangun karakter anak-anak Indonesia berjudul “Mental Juara”, “Semangat Soekarno”, dan “Pancasila”.

 
 
 

1 Comment


irsoekirman04
Mar 26

Tulisan Elwin Tobing selain menginspirasi juga memberi motivasi

Like
bottom of page