top of page
Search
  • Writer's pictureElwin Tobing

Masalah Terbesar Indonesia: Kurang Berpikir Secara Sistem



Masalah terbesar Indonesia bukanlah soal korupsi. Bukan juga masih adanya perbedaan dalam menyikapi dan menerima Pancasila sebagai dasar Negara. Tetapi adalah berkembangnya budaya yang tidak kondusif, bahkan menghambat, kemajuan. Yaitu, budaya mediokrasi. Budaya asal atau biasa-biasa.


Budaya mediokrasi cenderung mengerjakan sesuatu tanpa begitu peduli apakah hasilnya optimal atau tidak. Yang penting dikerjakan. Cenderung tidak mempersiapkan perencanaan, bagaimana itu kemudian diimplementasikan, dievaluasi, dikalibrasi, dan dimutakhirkan sesuai feedback yang diperoleh setelah rencana diimplementasi.


Artinya cenderung tidak berpikir secara sistem dan sistematik. Bila tidak puas dengan hasil suatu usaha atau kebijakan, solusinya cenderung menjadi bongkar pasang. Pada akhirnya, kemajuan nyata cenderung semu. Dalam konteks jangka panjang, yang terjadi adalah kemunduran.


BERPIKIR SECARA SISTEM


Suatu sistem adalah keterkaitan antara berbagai unsur yang secara koheren diorganisasikan sedemikian rupa sehingga mencapai suatu tujuan. Jadi berpikir secara sistem artinya adalah kemampuan untuk memahami interkoneksi dalam suatu sistem sedemikian rupa sehingga bisa mencapai hasil optimal yang diinginkan.


Berpikir secara konvensional atau yang bukan secara sistem akan melihat hubungan antara masalah dan penyebabnya seperti hal yang jelas dan gampang dikenali. Tetapi justru di sinilah masalahnya. Ketika hubungan tersebut seperti gampang dikenali, kita bisa terjebak hanya melihat simptom bukan akar penyebab yang sesungguhnya (underlying problems).


Misalnya seseorang yang demam dan kebetulan merasa sangat capek menyimpulkan bahwa kepenatannya tersebut menyebabkan dia demam. Dia berpikir bahwa dengan istirahat cukup, demamnya akan hilang. Dia gagal memahami bahwa demam tersebut adalah karena ada peradangan dalam tubuhnya dan kepenatannya tersebut adalah simptom bukan penyebab demam.


Dalam konteks kebijakan publik, akibat dari cara berpikir yang konvensional ini bisa melahirkan pengambilan kebijakan yang keliru. Juga bisa berakibat pada penempatan orang yang salah ditempat yang salah.


Berpikir secara sistem tidak akan serta merta menganggap bahwa hubungan antara masalah dan penyebab adalah langsung dan jelas. Itu sebabnya perlu penelusuran secara sistematik. Apakah input yang bermasalah. Ataukah proses, atau penetapan kriteria kualitas/kuantitas output? Atau hubungan antar sub-sistem atau unsur dalam sistem tersebut yang bermasalah?


KONTEKS PENDIDIKAN TINGGI


Ambil contoh pembangunan pendidikan Indonesia dan secara spesifik pendidikan tinggi. Sejak tiga dekade terakhir, mismatched output pendidikan tinggi dengan dunia kerja sering dianggap masalah besar.


Berpikir secara konvensional akan menyimpulkan dengan gegabah bahwa masalahnya adalah outputnya. Sarjana tidak siap pakai. Kenapa? Karena kampus tidak membekali mahasiswa untuk siap pakai. Atau dianggap mahasiswa belajar tentang A di kampus dan bekerja tentang B di dunia kerja.


Itu sebabnya lahir kebijakan kampus merdeka dengan magang salah satu butir utamanya. Magang menjadi program wajib bagi sebagian besar mahasiswa untuk bisa lulus.


Ini tentu mengundang berbagai pertanyaan. Apakah kampus tempat menciptakan insan-insan tukang yang siap mengerjakan hal teknis spesifik? Atau menciptakan insan-insan yang dapat menggunakan daya nalar/analisisnya, logikanya, dan pengetahuan umum dan khususnya (skills) untuk memahami suatu permasalahan dan mencoba berkontribusi terhadap solusinya? Atau juga mendidik insan-insan supaya memiliki inisiatif dan displin (dalam berpikir dan bertindak), serta mampu berkomunikasi, baik lisan dan tertulis.


Dengan kata lain, apakah kita sudah tepat dan benar mendefinisikan kualitas sesungguhnya dari output pendidikan tinggi yang kita harapkan? Saya kuatir belum. Dan saya kuatir jangan-jangan kita terjebak bicara dan menangani simptom, bukan akar penyebab masalahnya.


Kedua, di mana sesungguhnya letak mismatch tersebut? Apakah dalam hal pengetahuan teknis? Cara berpikir dan daya nalar/analisis? Cara berkomunikasi? Disiplin?


Ketiga, seberapa besar gap dari mismatch tersebut? Apakah sesungguhnya trivial. Atau masih dalam batas relatif wajar sehingga perbaikan gradual di dalam sistem bisa menjadi solusi? Atau signifikan yang memerlukan pendekatan disruptif?


Keempat, berkaitan dengan hal ketiga di atas, seberapa besar skala mismatch tersebut? Apakah menyangkut umumnya lulusan perguruan tinggi? Atau hanya dalam kisaran persentase tertentu yang belum mengundang kekuatiran?


Kelima, bagaimana distribusi mismatch tersebut? Apakah umumnya menyangkut lulusan perguruan tinggi swasta? Apakah lulusan di luar Jawa? Di luar kota-kota besar? Apakah cenderung konsentrasi pada pada bidang tertentu? Atau hampir seluruh bidang studi, jurusan, dan tingkatan studi di perguruan tinggi?


Keenam, tahun 1993, Mendikbud Wardiman Djojonegoro misalnya memperkenalkan konsep link and match untuk menjembatani adanya mismatch antara dunia pendidikan dan dunia industri. Artinya, berbagai kebijakan dan program mungkin sudah dilakukan untuk mengatasi mismatch tersebut selama tiga dekade terakhir. Bagaimana hasilnya? Apakah efektif? Apakah pada dasarnya tidak berguna? Di mana kelemahan dan kelebihannya?


Ketujuh, berkaitan dengan pertanyaan di atas, apakah mismatch tersebut semakin memburuk seiring dengan waktu? Artinya bagaimana mismatch tersebut 30, 20, 10, dan 5 tahun lalu?

Dan lain sebagainya.


Kita masih bicara simptom. Dan belum jelas apakah gejala tersebut berat, sedang, ringan? Apakah ada gejala lain yang terkait? (Seperti misalnya flu, pilek, demam yang bisa saling terkait). Apakah gejala bereaksi dengan perlakuan di masa lalu. Dan seterusnya.


Belum bicara akar penyebab (underlying problems).


DIAGNOSA SECARA SISTEM


Kita asumsi dulu bahwa mismatch tersebut nyata. Tetapi sebelum memberikan solusinya, tetap harus dipahami dahulu skope dan skalanya. Apakah skope-nya relatif hanya menyangkut bidang dan status perguruan tinggi tertentu. Apakah skalanya masif, menyangkut mayoritas mahasiswa?


Identifikasi skope dan skala ini akan membantu kita memberikan solusi yang tepat dan benar.

Setelah itu, mari berpikir secara sistem. Bagaimana sesungguhnya interkoneksi antar sub-sistem dan unsur-unsur dalam sistem pendidikan tinggi dan industri kita, bahkan dalam skala luas, sistem perekonomian nasional?


Pertama, bagaimana dinamika internal kedua sistem tersebut secara umum? Apakah dunia pendidikan kita sangat statis sementara dunia industri cukup dinamis?


Bila iya, seberapa cepat akselerasi dunia industri melampaui dunia perguruan tinggi? Dan apakah itu berlaku di hampir seluruh bidang, atau hanya menyangkut bidang-bidang tertentu?


Beberapa tahun lalu Prof. Glenn Roquemore sering kami undang bicara di University of California Irvine untuk memberikan perspektif kepada para pimpinan daerah Indonesia tentang pembangunan tenaga kerja di daerah. Beliau waktu itu adalah Presiden Irvine Valley College di Irvine, California dan anggota badan pengembangan tenaga kerja California.


Dalam paparannya, Prof. Roquemore mengatakan bahwa di college mahasiswa cenderung belajar pengetahuan teknis yang ketika mereka lulus sudah menjadi usang (obsolete). Kira-kira dalam lima tahun mereka harus belajar pengetahuan teknis baru lagi. Bila tidak, pengetahuan mereka yang sebelumnya bisa tidak terpakai, katanya.


Sistem operasi Windows dan versi iPhone yang baru bisa muncul hampir setiap tahun. Akselerasi perubahan atau pemutakhiran di bidang teknologi informasi dan komunikasi, dan bidang lainnya, semakin lebih cepat. Tetapi penguasaan atas landasan terhadap pemutakhiran versi teknologi tersebut sudah terbangun sebelumnya. Tuntutan pasar ataupun tekanan stakeholder terhadap perusahaan di dunia industri untuk tetap berinovasi membuat proses perubahan atau pemutakhiran tersebut semakin akseleratif.


Penguasaan landasan tersebut yang diajarkan di perguruan tinggi. Adanya interkoneksi antara perguruan tinggi dan industri akan membuat gap antara teknologi versi baru di dunia industri dengan penguasaan landasannya di perguruan tinggi tidak menjadi masalah serius.


Dalam kaitan ini, kita bertanya apakah pengajaran untuk penguasaan akan landasan pengembangan teknologi sudah berkembang baik di perguruan tinggi kita? Dengan kata lain, apakah penguasaan akan landasan keterampilan teknis sudah betul-betul diajarkan dengan baik di dunia pendidikan tinggi?


Bila belum, itu dulu diperbaiki. Bila sudah, kita berpaling ke hal berikutnya:


Kedua, bagaimana dengan interkoneksi dunia perguruan tinggi dan dunia industri. Apakah dunia industri kita dekat dengan dunia pendidikan tinggi? Apakah mereka melakukan investasi yang nyata, terarah, dan berkesinambungan di dunia perguruan tinggi? Tentang hal ini, Prof. Roquemore memberikan contoh bagaimana beberapa perusahaan (di bidang teknologi) mensponsori laboratorium di Irvine Valley College.


Juga di sekitar University of California Irvine dan Irvine Valley College berkembang teknologi park, di mana dunia usaha termasuk start-ups bisa punya jaringan ke perguruan tinggi di sekitarnya. Ini menunjukkan bahwa dari sisi hardware dan software, dunia industri dekat dengan dunia pendidikan tinggi. Hal yang lazim di AS.


Saya kuatir, dunia industri Indonesia belum menganggap dunia pendidikan tinggi sebagai partner serius sedemikian rupa sehingga mereka sukarela dan serius memberikan dukungan nyata, terarah, dan berkesinambungan ke dunia pendidikan tinggi. Misalnya, seberapa besar kontribusi dunia swasta Indonesia terhadap dana penelitian dan pengembangan nasional? Rata-rata periode 2010-2015 hanya 26%. Bandingkan misalnya di Malaysia 57%, Korea Selatan 77%, AS 70% dan Cina 76%.


Ketiga, bagaimana sebetulnya pengembangan kualitas SDM di dunia industri Indonesia? Apakah mereka memberikan dukungan yang memadai terhadap program training dan re-training? Jadi bisa saja salah satu kontributor terhadap mismatch ini karena dukungan minim akan peningkatan kualitas SDM di dunia industri.


Keempat, bagaimana dengan kualitas input ke dunia perguruan tinggi. Dan juga kualitas input daripada input ke PT. Artinya kualitas mahasiswa tidak lepas daripada kualitas pendidikan menengah atas, yang pada gilirannya ditentukan oleh kualitas pendidikan menengah pertama (SMP), dan seterusnya.


Mari lihat kualitas SMP kita. Menurut hasil tes standar internasional (PISA), skor tes anak-anak SMP kita di bidang matematika, sains, dan membaca dalam dua dekade terakhir senantiasa berada pada urutan belakang. Misalnya pada tahun 2018, dari 79 negara, Indonesia pada peringkat 74 di bidang membaca, peringkat 73 di bidang matematika, dan peringkat 71 bidang sains.


Hasil tes PISA tahun 2015, 55% pelajar SMP Indonesia secara fungsional masih buta huruf (functionally illiterate). Artinya bisa membaca, tetapi tidak mengerti apa yang dibaca.

Sulit mengharapkan bahwa kemampuan mereka ini akan meningkat secara signifikan di tingkat SMA/SMK. Sekitar empat tahun berselang, mereka inilah yang menjadi input mahasiswa di perguruan tinggi.


APA AKAR MASALAHNYA?


Jadi ketika daya nalar, cara berpikir, penguasaan keterampilan teknis, serta kemampuan komunikasi (lisan dan tertulis) daripada lulusan sarjana kita masih relatif lemah, jangan-jangan itu karena masalah kronis dalam hal kualitas input di pendidikan tinggi.

Selama 30 tahun kita berkutat dengan persoalan mismatch. Asumsikan itu masalah serius, tetapi solusinya bukanlah magang. Akar masalahnya (underlying problems) mensyaratkan solusi lain.


Berpikir secara konvensional, bukan secara sistem, cenderung menghasilkan kebijakan perbaikan cepat (quick fix) yang sepertinya mengatasi masalah dalam jangka pendek. Dalam kenyataan, quick fix tidak saja tidak membantu memperbaiki masalah, tetapi justru bisa memperburuk situasi di jangka panjang.


Pendidikan, apakah tingkat dasar atau tinggi pada dasarnya menyangkut proses lima hal berikut: read, think, write, do, and produce. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi level kelima hal di atas. Kita berharap lulusan pendidikan kita bisa “do” dan “produce”, sementara dalam bidang “read”, “think”, dan “write” masih pas-pasan.


Persoalan pendidikan tinggi kita menyangkut berbagai hal, termasuk kualitas masing-masing sub sistem dan interkoneksi dua arah daripada dunia industri dan pendidikan tinggi. Yang tidak kalah penting, konteks perekonomian nasional. Apakah memang struktur dan kapasitas ekonomi kita bisa betul-betul menyerap para tenaga kerja lulusan pendidikan tinggi sesuai dengan bidangnya?


Kegagalan memahami esensi masalah ini bisa berakibat pada penempatan orang yang salah memimpin inisiatif perbaikan tersebut.


BIDANG-BIDANG LAIN


Kita menghadapi berbagai masalah kronis. Persoalan impor/produksi beras. Subsidi BBM. Kemiskinan yang masih tinggi. Sebagai gambaran, dengan garis kemiskinan $3.20 (atau Rp 50,00) per hari per orang, sekitar 54 juta orang Indonesia (20 % dari total penduduk) hidup di bawah kemiskinan. Dan berbagai persoalan kronis lainnya.


Sementara itu, kita sudah mencoba membangun atau memperbaiki persoalan di atas selama beberapa dekade ini. Namun, kenapa masih kronis? Apakah karena kita cenderung berpikir konvensional dengan melakukan quick fix seperti memecahkan masalah dalam jangka pendek, tetapi justru kemudian menimbulkan masalah baru atau memperburuk situasi dalam jangka panjang?


Sekitar 30 tahun lalu, Prof. Sumitro Djojohadikusumo sering melontarkan bahwa kebocoran anggaran di Indonesia mencapai 30%. Dalam pengertian sekarang, sekitar 30% dana anggaran menguap, entah dikorupsi, dan lain sebagainya.


Jadi, persoalan korupsi anggaran bukan hal baru. Dan itu akan tetap terjadi. Tetapi, apakah itu masalah terbesar dalam pembangunan Indonesia? Saya kuatir tidak.


Yang lebih bermasalah adalah apabila kita sudah mencurahkan tenaga, pikiran, dan dana yang sudah sangat besar untuk memperbaiki situasi, tetapi solusi kebijakan dan program yang dilakukan cenderung hanya memperbaiki simptom. Quick fix. Tanpa menyentuh akar pokok persoalan. Alhasil, kita sibuk tambal sulam dari satu periode ke periode berikutnya. Itu sudah membuang sumberdaya yang jauh lebih banyak daripada yang hilang karena korupsi.


Itulah masalah terbesar kita.

0 comments
bottom of page