Hari ini 575 anggota DPR terpilih di lantik. Pertama-tama, selamat kepada mereka. Rentang Pemilu sampai pelantikan relatif cukup lama. Mungkin sesuatu yang bisa dikoreksi ke depan. Bila pelantikan September (dan Oktober untuk Presiden), Pemilu mungkin bisa digeser ke Bulan Juli.
Pemilu Sangat Mahal
Kemenangan dalam Pileg berbanding lurus dengan sumberdaya dana. Di AS, di tahun 2016, rata-rata kandidat DPR yang menang mengeluarkan biaya sekitar 1.3 juta dolar AS atau sekitar 18 milyar rupiah. Dengan umumnya hanya dua kandidat, satu kursi berbiaya rata-rata 2.2 juta dolar atau sekitar 30 milyar rupiah. Ini adalah rata-rata.
Satu kursi DPR bisa berbiaya 30 juta dolar tergantung apakah dalam distrik tersebut kedua partai yang bertarung, Republik dan Demokrat, bersaing ketat. Pada Pemilu antar waktu tahun 2018 lalu, Distrik 39 di Orange County, California (tempat tinggal kami) persaingan antara kandidat dari Demokrat dan Republik yang sangat ketat menyebabkan biaya satu kursi melonjak ke 39 juta dolar AS.
Alokasi biaya ini umumnya untuk membeli iklan, baik melalui TV, media sosial, dan media tradisional lainnya. Perang informasi di media berlangsung beberapa bulan dan itu berbiaya tinggi. Memang sedikit paradoks. Seiring dengan perkembangan teknologi dan media, biaya akses informasi semakin relatif rendah. Tetapi, biaya kampanye, yang pada intinya menyebarkan informasi kepada rakyat pemilih, justru semakin meningkat.
Di Indonesia, kemenangan dalam Pileg DPR juga berbanding lurus dengan sumberdaya dana. Sebagai seseorang yang sudah pernah mengalaminya, itu kenyataan yang terkadang sulit diterima. Bagi yang memiliki sumberdaya relatif terbatas, menang Pileg adalah kombinasi keberuntungan (lawan-lawan lain yang bermasalah, pemilih yang tiba-tiba menjadi idealis, dlsb) dan usaha gigih. Bagi yang memiliki sumberdaya besar, kekalahan umumnya karena menganggap uang adalah segalanya dan menyepelekan (underestimate) bahwa dalam situasi tertentu, rakyat pemilih juga cerdik dan mungkin sedikit licik.
Perhitungan biaya satu kursi DPR di Indonesia tidak semudah di AS karena banyak jumlah partai dan kandidat yang bersaing. Misalkan Daerah Pemilihan atau Dapil Sumatera Utara 3 (kami pilih contoh ini karena kami pernah bersaing di sana tahun 2014) dengan 10 kursi untuk diperebutkan. Misalkan juga ada 12 partai yang sungguh-sungguh bersaing dan masing-masing partai mencalonkan rata-rata 9 orang. Ini artinya ada 108 kandidat yang bersaing. Juga misalkan hanya 50 orang dari 108 tersebut yang betul-betul bersaing (atau sekitar 4 orang dari tiap partai), dan selebihnya hanya sekedar pelengkap nama di daftar.
Dengan asumsi rata-rata biaya per kandidat 1 milyar rupiah, itu artinya total biaya per 10 kursi adalah 50 milyar rupiah atau 5 milyar rupiah per kursi.
Apakah asumsi tersebut masuk akal? Bisa jadi. Tetapi itu baru perkiraan dasar, yang jumlahnya bisa melonjak drastis.
Agar memiliki prospek relatif tinggi, seorang kandidat yang sungguh-sungguh berniat menang di Dapil Sumut 3 tersebut harus mengeluarkan biaya 5 milyar rupiah. Apabila hanya separuh dari 50 kandidat tersebut yang sanggup dan mau mengeluarkan biaya tersebut, maka total biaya 10 kursi tersebut menjadi 250 milyar rupiah atau 25 milyar per kursi. Saya kira ini mungkin perkiraan yang lebih sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Di lihat dari angka di atas, biaya satu kursi di Indonesia sepertinya tidak jauh lebih mahal daripada di AS. Tetapi apabila hal itu ditempatkan dalam konteks pendapatan, perbandingan biaya satu kursi tersebut menjadi sangat jelas perbedaannya.
Bila menggunakan pendapatan per penduduk (atau per kapita) yang sudah disesuaikan dengan daya beli (GDP per capita adjusted to purchasing power parity), pendapatan per kapita di AS lima (5) kali lebih besar daripada pendapatan per kapita Indonesia. Di sesuaikan dengan hal ini dan bila disamakan dengan rata-rata biaya per kursi DPR di AS, biaya per kursi DPR di Dapil Sumut 3 seharusnya sekitar 6 milyar rupiah. Ini rasanya mustahil terjadi di lapangan.
Tentu Dapil Sumut 3 belum tentu representasi dari seluruh Dapil yang ada di Indonesia. Ada yang lebih murah, ada yang lebih mahal seperti Dapil di Jakarta. Tetapi, itu sedikit banyak bisa memberikan gambaran bahwa biaya per kursi DPR RI di Indonesia sangat mahal.
Akhir Perjuangan
Mahalnya biaya per kursi DPR ini sedikit banyak mempengaruhi kinerja mereka, sebab umumnya dana tersebut keluar dari kantong kandidat. Kemungkinan saja kandidat yang menang sudah berpikir bahwa kemenangan tersebut adalah akhir perjuangannya, bukan menjadi suatu awal perjuangan untuk kemajuan daerah yang diwakilinya, dan Indonesia secara menyeluruh.
Kemungkinan saja dirinya berpikir “saya ini memenangkan saya dan karenanya saya ini untuk saya.” Kita hanya bisa menduga.
Tetapi melihat data kehadiran rapat anggota DPR periode 2014-19 lalu yang rata-rata hanya 40 persen, dugaan tersebut sedikitnya ada dasar. Ketika dari 15 minggu kuliah satu semester mahasiwa saya hanya hadir 6 minggu, tanpa alasan sakit misalnya, saya menganggapnya tidak sungguh-sungguh kuliah, entah apapun alasannya. Rapat adalah forum di mana anggota DPR menyampaikan suara rakyat yang diwakilinya.
Dan ketika persentase pencapaian target pengesahan UU dari program legislasi nasional, yang menjadi salah satu tugas pokok DPR, yang hanya sekitar 10 persen, kita wajar berasumsi bahwa kemenangan menjadi DPR di tahun 2014 bisa jadi memang menjadi akhir perjuangan.
Apakah ini akan terulang lagi dengan DPR Periode 2019-2024?
Ebiet G. Ade punya jawabannya.
댓글