top of page
Search
  • Writer's pictureElwin Tobing

Dari AS ke Gerindra: Demokrasi dan Politik Oposisi

Updated: Jun 16, 2020

(Catatan: Artikel ini ditulis pada awal Oktober 2019).

Nopember 2016. Bulan dan tahun Pemilu AS. Saya kebetulan setahun di Negara Bagian Michigan sebagai professor tamu di salah satu universitas negeri di Grand Rapids, kota di bagian Barat Michigan, tidak jauh berbatasan dengan negara Bagian Illinois dan Indiana. Berkeliling pada akhir pekan ke berbagai daerah di negara bagian tersebut, saya banyak melihat poster kecil bertuliskan Trump-Pence di halaman-halaman rumah penduduk. Sesekali tampak poster kecil “Hillary 2016”.


Pada hari Senin, 7 November, sehari sebelum Pemilu, saya melihat banyak persiapan kampanye di tengah kota Grand Rapids. Ketika saya tanya patron di salah satu café ada apa gerangan, jawabnya, Donald Trump akan datang. Saya bertanya, datang lagi?

Pelajaran dari AS


Seminggu sebelumnya, Trump juga kampanye di Grand Rapids. Dan sehari sebelumnya, calon wakil presiden Mike Pence juga kampanye di Grand Rapids. Saya berpikir, ada apa gerangan? Bukankah negara bagian ini secara tradisional memilih calon presiden dari Partai Demokrat? Apakah Trump dan Pence hanya buang-buang waktu dan tenaga?


Sejak tahun 1992 atau dalam enam (6) pemilihan presiden sebelumnya, calon presiden dari Partai Demokrat selalu menang di Michigan—dan menang mutlak dengan margin rata-rata 9.18%. Pada 2008, ketika Obama maju pertama kali, Demokrat menang dengan selisih 16.4%.


Tidak heran bila Partai Demokrat sudah menganggap Michigan aman dalam kantong. Sekitar 100 hari sebelum Pemilu, Trump melakukan kampanye rali 133 kali di Negara Bagian Florida, Pennsylvania, Ohio, North Carolina, Michigan dan Wisconsin, negara-negara bagian krusial menentukan pemenang Pemilihan Presiden. Hillary hanya 87 kali rali, bahkan sama sekali tidak ke Wisconsin.

Ketika hari-hari terakhir mengetahui melalui jajak pendapat internal bahwa Trump bisa menang di Michigan, kubu Hillary panik. Trump menang dengan selisih suara tipis, 0.23%, 47.50% dari total suara dibanding 47.27% untuk Clinton.


Hillary kalah di Michigan—dan Pemilihan Presiden.


Sangat mudah mengkambing-hitamkan lawan politik ketika seorang kandidat kalah dalam Pemilu. Bermain curang, mencuri hasil pemilihan, dan lain sebagainya. Sejatinya, kekalahan tersebut lebih pada kombinasi beberapa faktor internal: kandidat yang tidak kompeten atau tidak menarik menurut pemilih, pesan-pesan kampanye yang sudah usang, gerakan akar rumput yang tidak bekerja efektif, dan lain sebagainya. Salah satu tulisan di Politico, media pro liberal demokrat juga mengungkapkan hal tersebut.

Dan tentu ada juga faktor eksternal. Di Michigan misalnya, Gary Johnson dari Partai Libertarian, faksi dari Partai Republikan, mengantongi 3.59% total suara dan Jill Stein kandidat dari Partai Hijau (faksi Partai Demokrat) mengantongi 1.07% total suara. Kedua partai kecil tersebut pada dasarnya anti Trump. Jadi tanpa kehadiran keduanya di Pemilu, hasil perolehan suara di Michigan bisa berbeda.


Juga faktor Obama. Pada Pemilu tahun 2000 dan 2004, perolehan suara kandidat Partai Republik rata-rata 46.95% dan Demokrat 51.25%. Atau selisih margin 4.30%. Ketika nama Obama dalam kertas suara, perolehan suara Demokrat melonjak ke 57.4% di tahun 2008 dan 54.2% di tahun 2012. Sementara perolehan suara kandidat dari Partai Republik menurun drastis ke 41% dan 44.7%. Salah satu alasannya adalah karena persentase pemilih berkulit hitam di Michigan lumayan tinggi yang mencapai 14%.


Selain itu, selama dua dekade sebelum tahun 2016, ekonomi Michigan merosot. Michigan identik dengan produser mobil karena itu negara bagian di mana markas dan pabrik tiga perusahaan produser mobil terbesar di AS (General Motors, Ford, dan Chrysler) berada. Pada 1990, 32% pekerja industri mobil di AS berada di Michigan. Tahun 2000 menurun menjadi 29% (atau sekitar 333 ribu) dari 1.2 juta pekerja di industri mobil di AS. Seiring dengan globalisasi dan kemajuan teknologi, pabrik mobil ketiga perusahaan tersebut sudah menyebar di berbagai negara bagian seperti Texas serta negara lain, termasuk Meksiko, Irlandia, dan Cina. Dari tahun 2000 sampai Desember 2007, Michigan kehilangan 211.000 pekerjaan industri mobil.1


Dan hanya dalam dalam 2 dekade, Detroit, kota metropolitan di Michigan dan kota pabrik mobil terbesar di Amerika Serikat, berubah dari kota tujuan utama bisnis menjadi kota yang ditinggalkan oleh bisnis. Pada periode 2009-2013, tingkat kemiskinan di Wayne County, kota di mana Detroit berada, mencapai 25%. Pada periode tersebut, tingkat kemiskinan di Michigan mencapai 16.8% (Kriteria pemerintah Federal untuk garis kemiskinan adalah penghasilan seseorang kurang dari $12,500 per tahun).


Kemerosotan ekonomi Michigan selama hampir 3 dekade terakhir, dari 1990-2016, terjadi pada saat kepresidenan dikuasai Partai Demokrat. Seperti kata James Carville, konsultan politik Bill Clinton pada kampanye Presiden tahun 1992, “It’s economy, stupid!”. Kepentingan dan kebutuhan ekonomi tetap salah satu isu utama dalam pemilihan presiden. Situasi di Michigan kurang lebih sama dengan di Pennsylvania dan Wisconsin dengan konteks industri yang berbeda. Sekiranya Hillary menang di Michigan, Winsconsin, dan Pennsylvania, dia sudah di Gedung Putih sekarang.


Tetapi bila seseorang mendapatkan berita tentang politik domestik AS hanya dari stasiun televisi CNN, NBC, MSNBC, atau koran Washington Post dan New York Times, yang bersangkutan akan percaya bahwa kemenangan Trump adalah karena dia kolusi dengan Rusia, dia bermain curang, manipulasi, dan lain sebagainya. Trump adalah manipulator yang harusnya kalah.


Realitas di lapangan sangat berbeda.


Kolusi media dan partai politik adalah hal yang haram dalam demokrasi. Mengapa? Sebab media harus netral dan objektif atau tidak bias dalam pemberitaannya. Bilapun tidak bisa objektif, paling tidak mereka harus secara terang-terangan mengakui posisinya sehingga masyarakat dan pemilih bisa menimbang pemberitaannya lebih objektif.


Sistim dwi partai di AS ini gampang terjebak dalam politik negatif.

Oposisi dan Zero-Sum Game


Sistim dwi partai di AS menawarkan kelebihan dan kekurangan2. (ft 2).2 Kekurangannya, itu cenderung menjadi suatu zero-sum game atau “lawan kalah, saya menang”. Yang kalah cenderung atau otomatis menjadi oposisi tetapi dengan prinsip zero-sum game. Karena itu, paradigma maupun strategi dalam kampanye cenderung menjadi bagaimana untuk mengalahkan lawan, bukan bagaimana untuk memenangkan pertandingan. Kedengarannya sama, tetapi keduanya bisa sangat berbeda.


Paradigma dan strategi mengalahkan lawan berarti lebih pada menyerang lawan politik. Paradigma dan strategi memenangkan pertandingan lebih pada bagaimana untuk persuasi pemilih untuk memilihnya.

Mengalahkan lawan bisa dengan cara-cara atau kampanye negatif. Dan memang itulah yang paling efektif. Tidak mengherankan apabila iklan kampanye negatif meningkat apalagi seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi. Apabila pada Pemilu 1960 di AS hanya sekitar 10% kampanye di media tayang yang negatif, pada Pemilu 2012, hanya 14.3% iklan kampanye di media tayang yang positif.(3)

Iklan kampanye negatif memang berpengaruh pada pemilih. Dalam beberapa kasus, iklan kampanye negatif dapat secara substansial mempengaruhi kesan pemilih terhadap kandidat yang diserang tersebut.[4]

Dengan menggunakan data pemilihan Senator di AS tahun 2010 dan 2012, suatu studi menemukan bahwa iklan kampanye negatif memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pemilih ketika dua kandidat bersaing di mana kandidat yang diserang cenderung mengalami kekalahan.[5] Pada pemilihan antar waktu tahun 2018, partai politik dan kelompok pendukungnya membelanjakan hampir $820 juta untuk iklan kampanye negatif, meningkat tajam dari $597 juta pada tahun 2014.[6]


Jadi dalam dwi partai, politik domestik bisa menjadi ajang kampanye yang tiada hentinya. Sebab strategi memenangkan Pemilu berikutnya bukan dengan gagasan dan kebijakan lagi, tetapi bagaimana menciptakan stigma sedemikian rupa sehingga lawan politiknya dianggap tidak kompeten atau korup. Lebih pada politik personal destruction (penghancuran nama baik) lawan politik. Itu sebabnya strategi kampanye Partai Demokrat untuk Pemilihan Presiden 2020 adalah dengan melakukan kampanye negatif terhadap kubu Trump. Tujuannya dua. Pertama supaya Trump sibuk bertahan, sehingga waktunya berkurang untuk hal-hal positif. Kedua, supaya kesan negatif tertanam dibenak pemilih. Itu efektif. Seperti kata pepatah, “Lumpur pekat akan melekat lama”.


Itu juga dipraktikkan oleh Partai Republik ketika kepresidenan Obama. Sejauh tertentu, berdasarkan suatu studi yang dilakukan oleh beberapa professor dari Wesleyan University, Washington State University dan Bowdoin College, Partai Demokrat lebih banyak menggunakan strategi tersebut.[7]

Sementara itu, kampanye untuk memenangkan pertandingan bisa dengan cara-cara menawarkan visi dan platform kampanye yang lebih menarik dan masuk akal daripada kandidat lawan. Ini tentu harus dikombinasi dengan mobilisasi kekuatan akar rumput kampanye yang dapat memenangkan suara pemilih.


Dalam konteks pertandingan sepakbola, strategi yang pertama adalah dengan mencederai pemain lawan. Strategi yang kedua adalah dengan bermain cantik dan unggul.[8] Tetapi karena secara relatif lebih mudah menyerang daripada melakukan persuasi positif, kampanye negatif tetap merupakan pilihan penting dalam sistim dwi partai. Dan karena setiap hari bisa menjadi suasana kampanye, akhirnya ini bisa menciptakan pemerintahan yang tidak berjalan mulus apalagi bila eksekutif dan legislatif dikontrol oleh dua partai yang berbeda. Agenda pembangunan bisa menjadi mandek. Dan eksekutif akan cenderung memilih executive order (perintah eksekutif) sebagai dasar hukum untuk menjalankan program atau kebijakan pembangunannya.


Thomas Friedman, kolumnis New York Times, suatu ketika dalam interview di NBC di tahun 2010 mengatakan bagaimana Amerika Serikat dalam satu hari bisa seperti pemerintahan di Cina yang lebih otoriter. “Kita memiliki sistim yang hanya menghasilkan solusi-solusi yang kurang optimal,” katanya.

Saya sepakat dengan kesimpulan Friedman. Tetapi alternatif terhadap pemerintahan demokrasi bukan berarti harus menjadi sistim pemerintahan terpusat yang otoriter.


Demokrasi memang berbiaya tinggi. Biaya langsung seperti pelaksanaan pemilu sangat mahal. Demikian juga biaya tidak langsung seperti kebijakan dan pelaksanaan pembangunan yang bisa menjadi kurang optimal. Ketika dalam demokrasi pihak oposisi hanya fokus pada aspek negatif lawan politiknya dibanding menawarkan solusi kebijakan dan program yang lebih baik, demokrasi berakhir seperti apa yang disampaikan oleh Laurence Peter, penulis Kanada, “hanya suatu proses di mana rakyat bebas memilih figur yang akan dikambing-hitamkan.”


Di sisi lain, dalam demokrasi, pemerintahan yang tidak memiliki oposisi bisa menjelma, baik secara perlahan maupun cepat, menjadi pemerintahan otoriter. Seperti kata Henry Commager, sejarawan dan penulis 40 serta termasuk bapak liberalisme modern di AS, bahwa “Jika demokrasi berkembang, itu harus dikritik; jika pemerintah mau berfungsi, maka harus ada perbedaan pendapat.”


Artinya menjadi oposan adalah dalam perbedaan akan pendapat, gagasan, kebijakan dan program. Ini esensi dan tujuan check and balances dalam demokrasi, yakni untuk mencegah cabang pemerintahan atau siapa pun di pemerintahan menjadi terlalu kuat. Sebab entitas atau pemerintahan yang terlalu kuat, akan bisa menjadi korup. Dan seperti kata pepatah, kekuatan yang absolut, akan korup seratus persen.

Oposisi sebagai Alternatif


Jadi kelebihan suatu dwi partai adalah itu bisa menawarkan kesempatan yang terbuka luas kepada pihak yang kalah untuk memposisikan dirinya sebagai alternatif yang lebih baik. Tetapi alternatif yang dimaksud di sini adalah alternatif yang berfokus pada kebijakan. Paradigma dan strategi politiknya adalah bagaimana untuk memenangkan pertandingan. Seseorang tidak mungkin salah 100% dalam segala waktu. Tetapi seseorang juga tidak mungkin benar 100% dalam segala waktu. Dalam konteks politik, partai yang berkuasa tidak mungkin selalu benar dalam segala waktu atau selalu salah dalam segala waktu.


Dalam hal ini oposisi memiliki ruang dan kesempatan untuk melakukan kritik terhadap kebijakan dan program serta menawarkan alternatif perbaikan. Artinya, berpolitik dan berkampanye secara positif.

Untungnya berdasarkan penelitian di AS, kampanye yang positif lebih mungkin untuk mengumpulkan pemilih yang lebih besar. Dan pemilih juga akan lebih percaya dan optimis terhadap kandidat yang mereka pilih untuk didukung karena kampanye positif mereka.[9] Penelitian lain menunjukkan bahwa kalangan yang independen bereaksi lebih positif terhadap kampanye yang positif daripada kampanye yang negatif.[10]

Politik Oposisi di Indonesia


Berbeda dengan AS, kita tidak mengenal sistim dwi partai. Tetapi, secara tidak langsung, partai yang mengusung kandidat presiden bisa mengerucut menjadi sistim “dwi” partai ataupun “fusi” menjadi dua kelompok partai. Bila kandidat presiden yang diusungnya kalah, secara rasional pihaknya menjadi pihak oposisi di legislatif.


Ini ada baiknya. Tanpa adanya check and balances antara eksekutif dan legislatif, salah satu diantaranya bisa menjadi terlalu kuat. Ketika check sudah lemah atau praktis hanya simbolis, kekuasaan yang terlalu kuat bisa menjadi terjebak dalam kekuasannya sendiri, yakni menjadi cenderung semau gue. Ini mirip dengan Orde Baru.


Peranan sebagai oposisi terhadap pemerintah misalnya tentu dilakukan lewat sistim demokrasi melalui fungsi badan legislatif termasuk dalam hal pengawasan jalannya pemerintahan, penyusunan anggaran, dan juga penyusunan undang-undang. Ketika fungsi-fungsi tersebut itu sudah tidak berjalan, itu dengan mudah bisa menjelma menjadi pemerintahan otoriter.


Ketika Hugo Chavez terpilih sebagai presiden Venezula di tahun 1999, rakyat pemilih yang umumnya dari kelas menengah ke bawah berharap akan pemerintahan yang demokratis dan dengan ekonomi yang lebih baik. Tetapi segera kemudian, Hugo Chavez menggerakkan suatu referendum untuk menghapuskan lembaga leguslatif dan konsekuensinya, check dan balances hilang. Hasilnya kemudian, pemerintahan Venuzuela sangat korup dan ekonomi berantakan.


Peranan oposisi tidak harus selalu negatif. Bila prinsip partai pendukung pemerintah mengikuti diktum Ronald Reagan, “trust, but verify”, maka spirit partai oposisi adalah “do not trust, but still needs to verity”. Artinya, bisa skeptis dan tidak percaya dengan eksekutif, tetapi itu tetap melalui proses verifikasi.

Jadi apabila ada kritik dan perbedaan pendapat dengan pemerintah, terlepas bagaimanapun itu disampaikan, itu tidak harus semata-mata ditafsirkan sebagai suatu serangan negatif terhadap pemerintah. Politik penghancuran nama baik (personal destruction) dan tuduhan tidak berdasar yang sudah menjadi kampanye negatif, itulah yang menjadi masalah.

Manuver Politik Gerindra?


Satu dekade lalu, Megawati berpasangan dengan Prabowo dalam Pemilihan Presiden. Jadi hubungan politik Megawati dengan Prabowo bukan hal baru. Selain perhitungan pragmatis dan taktis akan perebutan (pengaruh terhadap) kekuasaan, salah satu dasar hubungan tersebut adalah Sang Proklamator, Soekarno. Terlepas apakah untuk publisitas atau otentik, Prabowo mengungkapkan bahwa idola politiknya adalah Soekarno. Cara berpakaian dan dengan pecinya sudah memberikan kesan bahwa Prabowo memasarkan dirinya sebagai Soekarno di jaman modern sekarang.


Dalam konteks politik pemilu, Megawati dan Prabowo berbeda posisinya. Tetapi secara frontal dan langsung keduanya tidak bertanding. Dengan kata lain, keduanya tidak bertarung dalam kertas suara.

Pertarungan dalam kertas suara kerap melahirkan luka ketika kampanye pemilu yang sulit disembuhkan ketika pemilu sudah selesai. Itu terjadi ketika kampanye hitam ataupun politik penghancuran nama baik terjadi.


Pada pemilihan internal (primary election) Partai Republik tahun 2000, dua kandidat utama George W. Bush dan John McCain bertarung. Setelah John McCain menang secara mengejutkan di Negara Bagian New Hampshire dengan selisih suara 19%, kubu Bush melancarkan kampanye hitam di Negara Bagian berikutnya, Carolina Selatan. Kampanye hitam tersebut menyerang McCain yang mengatakan dia gila, penghianat, dan memiliki anak berkulit hitam di luar nikah. Ini hal yang sangat fatal di Negara Bagian tersebut yang mayoritas konservatif.


McCain sakit hati. Dan hubungannya dengan Bush penuh dinamika love-hate. Pada Pemilu Presiden 2004, isu sempat berkembang bahwa McCain menjadi pasangan John Kerry dari Partai Demokrat. Dan meski dia kampanye untuk Bush, tetapi pada saat yang sama membela John Kerry dari serangan kubu veteran perang Vietnam yang mendukung Bush.


Jadi secara personal, hubungan Megawati dan Prabowo, paling tidak dipermukaan, berjalan tanpa insiden. Ini kemudian memudahkan komunikasi antara kedua pemimpin partai tersebut untuk memposisikan diri dan partai masing-masing dalam lima tahun ke depan. Dari manuver di permukaan, Partai Gerindra cenderung condong untuk tidak menjadi oposisi. Tetapi akan mendukung pemerintahan, baik dalam eksekutif maupun legislatif (akan kontradiksi misalnya mendukung di bidang eksekutif tetapi oposisi di legislatif).


Mau tidak mau, Partai Gerindra termasuk partai relatif kuat. Hanya dalam satu dekade, Gerindra berkembang dengan perolehan suara dari 4.46% di pemilu 2009 (posisi ke-8) menjadi 12.57% dan posisi kedua terbesar di Pemilu 2019. Dengan Jokowi tidak lagi dalam kertas suara di Pemilu 2024, perebutan posisi pertama dan kedua suara partai terbanyak di Pemilu 2024 lebih terbuka. Dengan konsolidasi yang lebih baik dan dengan akses lebih langsung ke masyarakat via pemerintahan di eksekutif, bukan tidak mungkin perolehan suara Gerindra akan meningkat.


Apakah ini yang mendasari manuver Prabowo untuk mencoba menjadi bagian daripada koalisi di pemerintahan, itu masih terbuka pada interpretasi. Bilamanapun itu benar, pilihan tersebut sah-sah saja.

Yang menjadi pertanyaan adalah siapakah yang menjadi oposisi terhadap eksekutif? Seperti dijelaskan di atas, oposisi yang konstruktif sangat dibutuhkan agar demokrasi dan pemerintahan bisa berfungsi dengan baik untuk kepentingan umum.


Yakni oposisi yang loyal. Oposisi yang loyal adalah partai-partai non-pemerintah dapat menentang kebijakan kabinet, tetapi tetap setiap pada sumber kekuatan pemerintah (hasil Pemilu), bukan mau menggulingkan pemerintahan secara konstitusional maupun non-konstitusional.

[1] Eberts, Randall W. dan Erickcek, George A. (2009). “Where Have All the Michigan Auto Jobs Gone?” W.E. Upjohn Institute, Employment Research Newsletter, Vol. 16, No. 4. [2] Sebenarnya ada beberapa partai lain, tetapi perolehan suara mereka relatif sangat kecil, kecuali tahun 1992 dan 1996 ketika jutawan Ross Perot maju sebagai kandidat presiden dari Partai Reform yang berhasil mengantongi 18.9% dan 8.4% perolehan suara. [3] Dowling, Conor M. dan Krupniko, Yanna (2016). “The Effects of Negative Advertising.” Oxford Research Encyclopedias. DOI: 10.1093/acrefore/9780190228637.013.51. [4] Fridkin, Kim L. dan Kenney, Patric (2011). American Journal of Political Science, Vol. 55, Issue 2: pp. 307-325.. [5] Wang, Yanwen, Lewis, Michael dan Schweidel, David, A. “A Border Strategy Analysis of Ad Source and Message Tone in Senatorial Campaigns”. Marketing Science, Vol. 37, Issue 3, May-June: pp. 333-506. [6] https://www.washingtontimes.com/news/2018/oct/30/volume-of-negative-political-ads-increased-in-2018/ [7] “Clinton's ads more negative, more personal than Trump's, study finds” https://www.washingtonexaminer.com/clintons-ads-more-negative-more-personal-than-trumps-study-finds [8] Hal tersebut bisa dicapai. Klub Liverpool di Liga Utama Sepakbola Inggris misalnya mencapai rekor mengumpulan nilai terbanyak tahun 2019, tetapi termasuk klub dengan paling sedikit mengantongi kartu kuning atau tindakan pelanggaran termasuk mencederai lawan. [9] Peter A. Gregory, Peter A. (2015). “Comparing the Effectiveness of Positive and Negative Political Campaigns.” Inquiries Journal: Social Sciences, Arts, and Humanities, Vol. 7, No. 11: pp 1-2. [10] Meirick, Patrick C., Jefferson, Matthew D., Nisbett, Gwendelyn S., dan Pfau, Michael W. (2011). “The Influence of Tone, Target and Issue Ownership on Political Advertising Effects in Primary Versus General Elections.” Journal of Political Marketing, Vol. 10, Issue 3:pp.275-296.

0 comments
bottom of page