Kesampingkan sejenak berita panas di media (tradisional dan sosial) tentang protes dan kerusuhan di AS. Media di AS, khususnya berhaluan liberal yang mendominasi media dalam berbagai platform (saya perkirakan lebih 70%), cenderung menyebarkan sensasi dan menciptakan isu besar dari kejadian kriminal yang dilakukan aparat. Demi kepentingan ideologi politik.
Dan media juga kampiun dalam mengalihkan isu.
Tragedi dunia (dan AS) yang sesungguhnya adalah bagaimana sampai panik coronavirus membuat ratusan juta manusia akan hidup dalam kemiskinan yang durasinya mungkin bisa sampai bertahun-tahun. Per tahun 2019, jumlah tenaga kerja dunia berkisar 3.5 miliar jiwa. Reaksi dunia terhadap pandemik ini mengakibatkan penurunan output ekonomi dunia sekitar 15-30% dan pengangguran meningkat berkisar 10-25%. Asumsi rata-rata pengangguran dunia meningkat 10%, itu berarti tambahan 350 juta pekerja akan menganggur di seluruh dunia!
Di AS, per 31 Mei, sebanyak 40 juta dari sekitar 165 juta angkatan kerja menganggur akibat reaksi kebijakan terhadap COVID-19. Artinya, tingkat pengangguran di AS meningkat 24%, membawa tingkat pengangguran dari 3.6% di Januari 2020 menjadi 27.6% di bulan Mei 2020.
(Kementerian Keuangan RI dalam dokumen “Program Pemulihan Ekonomi Nasional” mengasumsikan tingkat pengangguran di Indonesia meningkat 5.23% (skenario terburuk) atau 2.92% (skenario berat 2.92%). Saya pekirakan pengangguran bisa mening-kat sampai 8-10%. Dengan jumlah angkatan kerja sekitar 135 juta, itu artinya tambahan pengangguran 4-10 juta jiwa). World Bank sendiri memperkirakan bahwa akibat reaksi terhadap COVID, sekitar 60 juta penduduk dunia akan hidup dalam kemiskinan yang parah. (Tentang biaya ekonomi COVID-19 dikupas di Bagian 2)
Ini belum termasuk korban jiwa akibat tekanan hidup pasca pandemik yang jumlahnya bisa mencapai jutaan. Plus tragedi sosial seperti perpecahan keluarga yang efeknya bisa panjang.
Siapa yang akan mengungkapkan asal muasal kepanikan tersebut? Dan dari mana mau memulainya?
Pada mulanya adalah data dan statistik.
Kutu Penyebab Sehat
Sebagai mahasiswa Statistik di IPB pada pertengahan tahun 1980-an, Professor Andi Hakim Nasution memperkenalkan kami di kelas dengan buku Darrell Huff “How to Lie With Statistics” yang terbit 66 tahun lalu. Buku tersebut meng-uraikan banyak kasus di mana data dan statistik bisa disalah-gunakan untuk mendukung propaganda tertentu.
Salah satu contoh yang menarik dalam buku tersebut adalah bagaimana data bisa menunjukkan sepertinya ada fenomena yang saling terkait atau berkorelasi. Ada berkembang keperca-yaan masyarakat di negeri kuno New Hebrides bahwa kutu badan membuat manusia sehat. Pengamatan masyarakat tersebut selama beberapa abad mengajarkan mereka bahwa orang yang sehat biasanya punya kutu, dan yang sakit tidak memilikinya.
Kesimpulan mereka: Kutu badan membuat seseorang sehat. Karena itu, setiap orang harus punya kutu badan.
Para expert menjadi terkenal dan kaya karena pendapat mereka bahwa kutu badan membuat seseorang sehat. Pengamatan mereka tersebut akurat dan meyakinkan. Yang kurang adalah akal sehat atau common sense. Pakar dengan common sense akhirnya meluruskan fenomena tersebut.
Ternyata memang hampir setiap orang ada kutu badan pada periode tertentu. Tetapi ketika seseorang demam, mungkin justru karena kutu tersebut, badannya menjadi tidak nyaman untuk kutu hidup. Akhirnya kutu tersebut pergi.
Jadi bukan karena kutu maka orang sehat. Fakta yang sama dengan dua kesimpulan yang sama sekali berbeda.
Ini membawa kita pada COVID-19.
Adalah “konsensus” bahwa COVID-19 mematikan dan penyebarannya sangat cepat. Menurut “expert”, proyeksi data berkata demikian. Pilihan civilisasi dunia hanya dua: Perubahan drastis secara instan atau kematian massal.
Kalangan yang di luar “konsensus” mengatakan, “tunggu dulu”. Apakah benar demikian? Kita perlu analisa datanya lebih objektif dan murni. Memberhentikan kegiatan dunia, apalagi beberapa bulan, perlu landasan data yang akurat, objektif, dan murni. Bukan hanya proyeksi dengan model tertentu.
Sebagai seseorang yang terbiasa bergelut dengan model-model empiris dan teoritis di bidang ekonomi, model dengan gampang bisa gagal dari uji bias ataupun memiliki tingkat kesalahan (margin of error) yang besar. Alhasil, proyeksi dari model yang bias akan menghasilkan keputusan yang sesat. Sementara model dengan margin of error yang besar pada dasarnya sangat tidak akurat, itu tidak lebih daripada menduga-duga.
Misalkan seseorang datang dengan model yang menghasilkan prediksi tingkat kematian COVID-19 3.4%, tetapi dengan margin of error 3.0%. Apakah model tersebut berguna untuk menuntun pengambilan kebijakan dasyat yang mempengaruhi kehidupan miliaran manusia beberapa tahun ke depan?
Mungkin prediksi dukun lebih akurat.
Kembali ke konsensus. Bila kelompok pertama berada dan mampu mempengaruhi pengambil keputusan publik, kelompok kedua seperti marginal dan terkadang dianggap heretik dan tidak manusiawi. Galileo mungkin geleng-geleng kepala di kuburnya. Sekitar 4 abad sebelumnya dia juga dianggap heretik karena justru membuktikan hal yang bertentangan dengan “konsensus”.
Mari mulai dengan pertanyaan pertama.
Berapa sebenarnya korban yang meninggal betul-betul disebabkan COVID-19 bukan dengan COVID-19?
Ini data berukuran “kecil”. Artinya, hanya memiliki satu variabel, yaitu meninggal atau tidak. Secara teoritis dan praktis, tidak susah untuk mengetahuinya.
Ironisnya, kita hidup di era Big Data, di mana Big Data cenderung dianggap panacea atau solusi terhadap semua masalah dunia. Tetapi justru “small” data yang membuat dunia nyaris lumpuh total.
Mengapa Distorsi?
Mengapa nilai sebenarnya dari data “kecil” ini susah diketahui? Karena itu menyimpan rahasia terhadap misteri COVID-19. Itu menjadi siluman. Itu sarat dengan kepentingan, drama, sensasi, dan juga misinformasi.
Di negara bagian Colorado, AS, angka kematian karena COVID-19 terpaksa harus dikoreksi. Pada 15 Mei dilaporkan angka kematian 1150 orang. Tetapi angka tersebut bukan saja angka kematian karena COVID-19, tetapi dengan COVID-19. Artinya seseorang yang meninggal karena hal lain, dan kebetulan dirinya terkena infeksi coronavirus. Misalnya, seorang yang meninggal karena overdosis alkohol, tujuh kali di atas ambang batas legal, tetapi dikategorikan sebagai kematian karena COVID-19 sebab di tes positif terkena coronavirus.
Di negara bagian Washington, setiap orang yang di tes positif COVID-19 dan meninggal dihitung sebagai korban COVID-19. Ini termasuk 5 orang yang meninggal karena kena tembak, tetapi termasuk dalam angka kematian COVID-19.
Menurut Institut Kesehatan Italia, hanya 12% dari angka kematian COVID-19 yang dilaporkan yang sebetulnya mencantumkan COVID-19 sebagai penyebab. Jauh-jauh hari, dalam briefing pada 20 Maret 2020, Presiden dari Civil Protection Service (Jasa Perlindungan Sosial) Italia mengatakan,
“Saya mengingatkan Anda bahwa mereka-mereka ini meninggal dengan coronavirus dan bukan karena coronavirus”.
Ini membawa kita kembali ke anekdot yang disampaikan oleh Darrell Huff di mana expert di negeri antah berantah New Hebrides percaya bahwa kutu menyebabkan orang sehat. Padahal yang sebenarnya adalah orang sehat hidup dengan kutu karena kutu senang hidup di dalam tubuh orang sehat.
Mystery
Lebih lanjut, Dr. Ngozi Ezike, direktur Departemen Kesehatan Masyarakat Illinois, menjelaskan tentang pelabelan penyebab kematian COVID tersebut.
“Definisinya sangat sederhana. Artinya, pada saat kematian, mendiang di diagnosa positif COVID. Itu berarti, bahwa jika Anda berada di rumah sakit dan telah diberi beberapa minggu untuk hidup, dan kemudian Anda juga ditemukan memiliki COVID, itu akan dihitung sebagai kematian COVID. Itu berarti, secara teknis bahkan jika Anda meninggal karena sebab alternatif yang jelas, tetapi Anda memiliki COVID pada saat yang sama, itu masih terdaftar sebagai kematian COVID.”
Jadi misalkan seseorang yang mende-rita penyakit kanker akut dan hanya akan bertahan hidup beberapa hari. Karena interaksi dengan orang lain dirinya terinfeksi COVID dan kemudian meninggal karena kanker tersebut, bukan karena COVID. Tetapi mendiang tersebut tetap ditulis dalam angka kematian COVID.
Petugas medis di berbagai negara bagian di AS, mulai dari Colorado sampai Michigan, menggu-nakan definisi yang sama. Di wilayah Macomb and Oakland di Michigan, di mana mayoritas kematian COVID di negara bagian tersebut terjadi, petugas medis mengklasifikasikan setiap kematian sebagai COVID ketika pemeriksaan jenazah menunjukkan positif COVID. Bahkan termasuk pada orang yang meninggal karena bunuh diri dan kecelakaan.
Beberapa dokter melaporkan bahwa mereka merasakan adanya tekanan dari rumah sakit untuk menyatakan bahwa kematian pasiennya adalah karena COVID meskipun mereka tidak yakin bukan karena COVID.
Apakah hal ini juga terjadi di Indonesia? Bisa jadi.
Mengetahui berapa angka kematian COVID yang sebenarnya menjadi sebuah misteri. Sudah lebih mudah menemukan jarum di pantai pasir daripada memastikan berapa jumlah korban COVID-19 yang sebenarnya.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Kenapa data harus digelembungkan? Ketika suatu fenomena sudah sarat dengan misinformasi dan kita ragu akan keabasahan datanya, cara paling sederhana adalah dengan melacak faktor pendorongnya dengan mengikuti diktum “follow the money/ power”. Ikuti siapa yang akan diuntungkan secara finansial dan politik.
Ketika politik, ekonomi, dan media campur baur untuk membangun suatu narasi demi kekuasaan dan ideologi, itu bisa berujung manipulasi.
Pertama, angka kematian COVID yang tinggi akan membuat pemimpin, khususnya presiden, dianggap tidak kompeten menangani pandemik ini. Di AS, gubernur punya wewenang akan kebijakan yang luas untuk masing-masing negara bagian dalam menghadapi COVID. Meski demikian presiden tetap dianggap figur sentral. Hal wajar. Di sistim politik pemilu yang pada dasarnya dwi partai, itu berarti Partai Demokrat akan di atas angin dalam pemilu bulan November nanti. Media seperti CNN, MSNBC, ABC, NBC, New York Times, Washington Post, yang berhaluan liberal dan pendukung Partai Demokrat, akan dengan sendirinya menonjolkan berita buruk.
Kedua, semakin tinggi angka kematian COVID-19, semakin lambat urgensi untuk membuka kembali kegiatan bisnis, ekonomi, pemerintahan, dan sosial. Artinya, keruntuhan ekonomi dan kemerosotan sosial akan semakin buruk. Pemilih akan cenderung menganggap kemerosotan tersebut tanggung jawab presiden. Dalam tahun pemilihan, itu adalah semacam hukum mati secara politik. Keinginan kubu liberal demokrat di AS agar AS mengalami resesi bukan rahasia. Ini terungkap dalam berbagai media.
Ketika ditanya apakah dia ingin AS mengalami resesi, Bill Maher celebriti liberal mengatakan, “Tentu. Mengapa? Salah satu cara menghilangkan Trump adalah dengan meruntuhkan ekonomi.”
Harapan Bill Maher dan yang sepaham dengannya terkabul.
Aspek finansial bisa menjadi salah satu faktor yang membuat rumitnya mengetahui kepastian angka kematian karena COVID-19. Menurut laporan USA Today,
“Administrator rumah sakit mungkin ingin melihat COVID-19 terlampir pada sertifikat kematian atau pemulangan pasien dari rumah sakitnya. Mengapa? Karena jika itu adalah karena berbagai macam jenis pneumonia lainnya, - jika mereka Medicare (asuransi untuk usia lanjut yang ditanggung oleh pemerintah) biasanya pembayaran lump sum yang berhubungan dengan diag-nosis adalah $ 5.000. Tetapi jika itu COVID-19 pneumonia, biayanya $ 13.000, dan jika pasien pneumonia COVID-19 berakhir dengan ventilator, itu naik menjadi $ 39.000.”
Menurun Yayasan Peterson-Kaiser Family, untuk pasien dengan asuransi swasta, biaya perawatan yang harus dibantu dengan ventilator berkisar $34,000 sampai $88,000 tergantung lamanya menggunakan ventilator. Cukup mahal.
Ketamakan akan kekuasaan dan uang adalah akar segala kejahatan. Apakah itu sesungguhnya yang membuat sulitnya mengetahui angka kematian COVID yang sebenarnya, itu akan menjadi misteri abad ke-21 yang mungkin tidak akan pernah terungkap. Apabila reaksi terhadap pandemik ini tidak besar, atau masih masuk akal, urgensi mengetahui berapa sebenarnya angka kematian COVID mungkin tidak mendesak, kecuali demi antisipasi yang lebih baik ke depan.
Tetapi kerugian sosial dan ekonomi maha dashyat. Topik kupasan berikutnya.
Comments