top of page
Search
Writer's pictureElwin Tobing

Belajar Memahami Perbedaan

Updated: Apr 22, 2018

Apakah Anda pernah makan tikus?

Ini adalah tulisan singkat dari Dian Marissa, pelajar SMA dari New York, yang mengirimkan tulisan ini ke blog The Prospect pada 1 Oktober 2002.

Persoalan tuding menuding dan lempar tanggung jawab rasanya sudah menjadi fenomena biasa yang kita dengar dan lihat di Indonesia. Hal ini membuat saya teringat dengan salah satu kelas favorit saya, antropologi, di semester pertama yang lalu. Saat itu, dosen kami memampang besar-besar gambar seorang koki dengan aneka tikus besar dan kecil bergelantungan di dapurnya. Kontan saja semua yang ada di kelas terhenyak dan bergidik karenanya. Pada saat itu kami semua tidak mengerti kemana arah pelajaran ini. Menarik sekali, karena dengan gambar itu, kini rasanya cara pandang saya terhadap dunia jadi berubah. Sebegitu dalamnya kah arti gambar itu?


Ya. Ini adalah insight (gambaran) yang saya rasa perlu ditelaah bersama. Selama ini kita tidak menyadari bahwa nilai-nilai yang kita anut kita anggap yang “terbaik.” Sayangnya, kecenderungan “the best” itu biasanya selalu disertai dengan perbandingan yang “lebih jelek”, yang belum tentu benar. Disini, saya ingin menggaris bawahi perbedaan pembenaran dengan kebenaran yang sepertinya sekarang ini batasnya sudah semakin mengabur. Buktinya saja, kenapa kita tiba-tiba merasa jijik melihat orang makan tikus? Karena kita telah terpengaruh dgn pembenaran-pembenaran kita sendiri tanpa melihat lebih jauh “kenapa” seseorang makan tikus. Karena selama ini kita hidup selalu makan ayam bukan berarti makan tikus menjadi lebih jelek, bukan? Dalam ilmu axiology juga telah diakui bahwa pembenaran seperti ini tak lepas dari nilai dan bias yang tertanam dalam diri seseorang yang sangat mempengaruhi pola pikirnya.


Pembenaran-pembenaran yang sifatnya sangat subjektif itu jugalah yang sepertinya sekarang sedang memenuhi dunia perpolitikan nasional (fill up our political air), sehingga bangsa kita menjadi terengah-engah menghirup paksa pembenaran tersebut. Untungnya, apabila seseorang telah sampai kepada tahap dimana dia mampu menyadari value-laden ini, biasanya ia akan lebih mampu melihat dari sudut pandang yang berbeda. Saya rasa, inilah yang sangat perlu menjadi bagian dari budaya bangsa, belajar melihat dari sudut pandang yang berbeda dan menghargai perbedaan tersebut. Belajar mengaktifkan alam sadar (conscious mind) kita sebelum bertindak lebih jauh.

Persoalan negara ini memang sangat kompleks dan tidak sedangkal masalah memakan tikus tadi. Akan tetapi, analogi yang dapat kita ambil adalah: apabila kita mau melihat dari sudut pandang yang berbeda, kita akan jauh lebih kaya dan lebih bijaksana dalam menilai sesuatu. Kita dapat memulai dengan mempertanyakan kenapa seseorang melakukan apa yang dia lakukan, atau menyatakan apa yang dia nyatakan, lalu berusaha memposisikan diri kita seandainya kita berada dalam posisi yang serupa. Akankah kita berlaku sama, atau tidak berlaku sama?


Sekarang, mari tanya kembali diri masing-masing tentang pembenaran yang kita buat dan bandingkan dengan pembenaran pihak lain. Kemudian teliti lebih dalam sampai pada tahap dimana kita menemukan jawaban atas daftar “kenapa” yang kita buat, baru bertindak. Akal yang kuat lahir dari alasan yang kuat. Powerful minds come out from powerful reasoning. Bersikaplah lebih netral, sebab self neutrality prophecy seperti ini dapat membentuk watak yang matang, dan watak yang matang adalah salah satu ciri-ciri pemimpin bangsa yang sangat dibutuhkan negara kita Indonesia. Kita masih harus banyak belajar untuk menjadi pemimpin yang bijaksana, setidaknya bagi diri kita sendiri.

0 comments

Comments


bottom of page